Jakarta (ANTARA News) - "Pengurus Besar Mathlaul Anwar (PBMA) periode 2015-2020 akan berusaha menjadikan Mathlaul Anwar sebagai Ormas Islam nomor tiga terbesar di Indonesia setelah Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah".
Demikian lebih kurang bunyi keputusan nomor satu rapat pleno PBMA di Masjid Istiqlal Jakarta pada 29 November 2015.
Sungguh satu tekad optimistis dan berani yang tentu akan segera ditindaklanjuti oleh seluruh pengurus ormas itu dengan langkah-langkah konkret.
PBMA tidak boleh membuang waktu, tetapi harus bekerja keras atas target-target program yang terinci dalam hal tujuan, waktu, tempat, pembiayaan, dan pola evaluasi. Pengurus dan anggota berdoa dan bermunajat kepada Allah SWT agar niat ini benar-benar dapat terwujud.
Kepengurusan Mathlaul Anwar periode 2015-2020 ini dinakhodai KH Sadeli Karim Lc (menjabat untuk periode kedua) dan diawaki banyak personel yang bergelar sarjana S1 dan S2, dan bahkan S3.
Ini bermakna bahwa pada 100 tahun kedua Mathlaul Anwar sekarang ini para sesepuh ormas itu, baik yang telah tiada maupun yang sudah senior akan terpuaskan dahaga prestasinya oleh anak-anak muda penerusnya di ormas tersebut.
Para senior tentu akan menunggu bahwa ini semua akan terwujud secara mengagumkan dalam beberapa waktu ke depan. Kerja sama luar negeri, khususnya dengan Singapura, Malaysia, dan Turki telah berkembang dalam lima tahun terkhir ini dan diharapkan dapat terus ditingkatkan.
Selanjutnya, ada baiknya masyarakat pahami kembali nama-nama ormas Islam dan kelahirannya untuk kita kenali lebih baik di masa depan, walaupun kali ini diinformasikan nama, tahun kelahiran, dan nama pimpinan utamanya.
Ormas dan kelahirannya
Bumi Nusantara berada dalam cengkraman dan di bawah pemerasan oleh Barat (khususnya Belanda dan Inggris) serta Jepang antara abad 15 sampai abad 20 atau antara 1550-an sampai 1945. Dalam masa itu bangsa ini diperas dan dibiarkan lapar dan terkapar.
Baru di tahun 1870 diberlakukan politik etis atas teriakan Dowes Dekker, seorang asisten residen di Rangkasbitung untuk memberi pendidikan kepada pribumi. Itu pun khusus bagi kelas ningrat yang memang sudah setia kepada penjajah.
Walau begitu, ormas Islamlah, karena panggilan agamanya yang pertama-tama bangkit mempersiapkan diri secara intelektual akan melawan penjajah sampai dicapainya kemerdekaan di tahun 1945. Itulah Syarikat Dagang Islam (SDI) yang lahir di Sala tahun 1905.
Wawasannya bersifat nasional. Ini semua dengan bagus ditulis oleh Pramudya Ananta Toer dalam bukunya "Sang Pemula" yang menceritakan sang pelopor sekaligus tokoh pers nasional RM Tiro Adi Soerjo yang kelak bersama HOS Tjokroaminoto menjadi pendiri Syarikat Islam pada 1911.
Kembali kepada ormas Islam arus utama. Di bawah ini kita catat nama organisasi, tahun berdiri, dan tokoh utamanya yaitu:
1. Syarikat Islam, 1911, HOS Cokroaminoto
2. Muhammadiyah, 1912, KH Ahmad Dahlan
3. Al Irsyad, 1914, Syeikh Ahmad Syoorkati
4. Mathla'ul Anwar, 1916, KH E. Moh. Yasin, dkk.
5. Persatuan Umat Islam/PUI, 1916, KH Abdul Halim
6. Persatuan Islam/PERSIS, 1923, A. Hasan Bandung
7. Nahdhatul Ulama, NU, 1926, KH Hasyim Asy'ari
8. Al Jamiyaul Washliyah, 1930, a.l. Yusuf Ahmad Lubis
9. Majlis Islam Ala Indionedisia, MIAI, 1937, KH Hasyim Asy'ari
10. Persatuan Ulama Aceh, PUSA, 1939, a.l.Teungku Abdurrahman MM.
Kesepuluh ormas Islam ini dapat disebut sebagai ormas induk yang masing-maing melahirkan atau mempunyai organisasi ikutannya untuk kalangan perempuan, pemuda, mahasiswa, buruh, seniman, dan pelajar.
Beberapa catatan di antaranya adalah Syarikat Islam, mempunyai organisasi yang berafiliasi, yaitu Pemuda Syarikat Islam, Syarikat Mahasiswa Muslimin Islam (SEMMI), Wanita Syarikat Islam.
Muhammadiyah, dengan Pemuda Muhammadiyah, IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), Aisyiyah, Nasyiatul Aisyiyah (NA), IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah).
Mathlaul Anwar, dengan organisasi yang berafiliasi Wanita Mathlaul Anwar, Pemuda Mathla'ul Anwar, dan Mahasiswa Mathlaul Anwar.
Persatuan Umat Islam/PUI, 1917, KH Abdul Halim, Persatuan Islam/PERSIS, 1923, A. Hasan Bandung, Nahdhatul Ulama, dengan Muslimat NU, Fatayat NU, GP Ansor, Ikatan Sarjana NU, IPNU, IPPNU, Sarbumusi (buruh).
Selanjutnya, Al Jamiyaul Washliyah, dengan Pemuda Al Washliyah, Pelajar Al Washliyah, Persatuan Ulama Aceh, PUSA, 1938, Tgk Daud Beureueh, Majlis Islam Ala Indoneisia, MIAI, 1937.
Di luar 10 organisasi induk tersebut, terdapat pula sejumlah organisasi yang tidak terikat kepada organisasi besar di atas, alias independen, yaitu Persami (Persatuan Sarjana Muslim Indonesia), Wanita Islam, HMI (Himpunan Mahasiswa islam), PII (Pelajar Isam Indonesia), KAHMI (Korps Alumni HMI), dan KB PII (Keluarga Besar PII).
Ada pula ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia) dengan ketua pertamanya Prof. Dr. BJ Habibie yang berdiri pada 1990 di kota Malang.
Selain 10 ormas Islam yang lahir di era perjuangan mencapai Indonesia merdeka, bermunculan pula organisasi Islam setelah proklamasi kemerdekaan, di antara organisasi yang relatif baru adalah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesa (DDII) yang dimotori pendiriannya, antara lain oleh H Moh Natsir, mantan Perdana Menteri RI tahun 1950 dan mantan Menteri Penerangan di zaman Kabinet Syahrir. Ada juga organisasi Majelis Dakwah Islam (MDI) yang dikembangkan organisasi politik Golongan Karya.
Kiprah DDII
Atas undangan Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang baru, Drs. Moh. Siddik MA, pertengan Oktober lalu penulis bersama seorang dosen Universitas Mathlaul Anwar (UNMA) Jakarta, Ir Agus Hardono MSc diterima di ruang kerja.
Kantor Ketua Umum terletak di gedung delapan lantai yang cukup besar, dengan luas tidak kurang dari 50 meter persegi yang mengingatkan penulis dengan ruang kerja Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo ketika menerima rombongan PBMA beberapa tahun lalu.
DDII didirikan pada 26 Februari 1967 dengan ketua pertama adalah Moh Natsir, mantan Perdana Menteri tahun 1950 dan Menteri Penerangan di Kabinet Syahrir.
Pembentukan DDII dilakukan setelah musyawarah alim ulama, pusat dan daerah, selain juga sejumlah tokoh ormas Islam yang tercatat dari Muhammadiyah, PUI, Mathlaul Anwar, Perti, Al Wasliyah, PERSIS, Al Irsyad, As-Syafiiyah.
Di antara tokoh yang hadir dalam musyawrah ini adalah Buya St.Mansur, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Mr. Syafrudin Prawiranegara, Mr. Burhanudin Harahap yang mantan Perdana Menteri RI, dan Prawoto Mangkusasmito (mantan Wakil Perdana Menteri/Ketua Umum Masyumi).
Selain itu juga hadir Mr. Kasman Singodimejo mantan Ketua BKR/Jaksa Agung pertama, Mr. Moh. Roem, yang eks Menlu. Juga hadir Yunan Nasution mantan Sekjen Masyumi, Bukhari Tamam/Sekretaris pertma DDII.
Berdiskusi dan bertukar pikiran dengan Ketua Umum DDII Moh. Siddik MA, yang sebelum tahun 1970-an bersama penulis aktif di PB PII cukup mengasyikkan, karena pengalamannya yang luas di forum internasional.
Pernah menjadi staf Islamic Development Bank (IDB) di Jeddah selama 17 tahun dan di UNICEF. Sebelum di IDB juga memegang jabatan di OKI lebih dari lima tahun, dan berakhir jabatanya di luar negeri sebagai Regional Director IDB yang berkedudukan di Kuala Lumpur selama empat tahun.
Setelah itu dia kembali ke Jakarta, meneruskan tugas di DDII yang dulu pernah dijabatnya sebagai Direktur PT Hudaya Safari dan Direktur lembaga zakat, LAZIZ. Pendeknya, suatu pengalaman yang komplet dan potensial untuk membawa DDII semakin berprestasi dalam dakwah di Nusantara.
Apa saja yang sudah digarap dan dihasilkan oleh DDII yang dalam rangka fastabiqul khairaat, layak dikejar oleh banyak ormas Islam yang lain adalah seabreg kegiatan yang menarik.
Organisasi Islam yang akan memasuki usia setengah abad ini (berdiri tahun 1967) mencatat sejumlah kegiatan.
Di bidang keuangan, mempunyai percetakan besar, dengan mesin Hydelbergh di Cikunir, Bekasi yang mampu mencetak buku dan majalah. Mempunyai lembaga LAZIZ yang aktif, selain juga memiliki usaha travel haji. Mengembangkan dan mempunyai wakaf produktif dan usaha jasa, penyewaan properti, mempunyai toko buku, dan penerbit media dakwah.
Di bidang dakwah, pendidikan, dan kesehatan, mempunyai 750 masjid dan mushalla binaan, termasuk puluhan masjid kampus, dan Islamic Center di daerah-daerah, melakukan pelatihan dakwah, mengembangkan sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohammad Natsir dengan kampus seluas lima hektare di Bekasi.
Selain STID, juga dikembangkan Akademi Dakwah Islam (ADI) di tujuh kota. Bersamaan itu dikirim 500 juru dakwah di 500 desa di daerah, termasuk daerah perbatasan.
Dengan dana LAZIZ, DDII juga memiliki sejumlah poliklinik di sejumlah daerah yang sangat memerlukan dan belum banyak terjangkau bantuan pemerintah.
Di bidang kerja sama internaional dan nasional, melanjutkan kerja sama pendiri DDII M. Natsir dengan Rabithah Alam Islamy di Mekkah. DDII hingga kini telah bekerja sama dengan Rabitah.
Selain itu juga bekerja sama dengan Muktamar Alam Islamy di Karachi, WAMY di Riyadh, Koordinasi Dakwah OKI di Kairo, International Islamic Charitable Organization di Kuwait, Perhimpunan LSM Islam sedunia di Istambul, Turki, dan Regional Islamic Dawah Council of Southeast Asia and the Pacific (RISEAP) di Kuala Lumpur.
Di dalam negeri, DDII dipercayai Majelis Ulama Indonesia sebagai satu di antara beberapa lembaga pendidikan dakwah Islam yang menyelenggarakan pendidikan 1.000 ulama muda.
*) Penulis adalah Wakil Ketua Majlis Amanah Mathlaul Anwar
Oleh Usep Fathuddien *)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015