"Perlu ada evaluasi menyeluruh tentang materi dan tim negosiator, karena Indonesia sebenarnya berpotensi menjadi leaderdalam gerakan ini," kata Chalid di sela KTT Iklim di Le Bourget, Paris, Prancis, Kamis waktu setempat.
Ia menjelaskan posisi Indonesia yang sangat kuat untuk menjadi pemimpin dalam perubahan paradigma tentang pentingnya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, karena memiliki beberapa kekuatan geopolitik.
Kekuatan pertama adalah bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di Indonesia. Kedua, bahwa hampir 80 persen penduduk Indonesia bermukim di pesisir yang artinya rentan terhadap perubahan iklim.
Ketiga, yakni secara hostoris membuktikan bahwa Indonesia bukan emiten atau penyumbang emisi tertinggi, seperti negara-negara yang sudah mengemisi tinggi sejak era pra-industri.
"Kekuatan keempat adalah bahwa negara kita menganut politik bebas aktif dan memiliki hubungan baik di komunitas internasioal," katanya.
Komunitas Internasional tersebut adalah Indonesia sebagai pelopor Asia-Afrika, anggota organisasi negara-negara Islam (OKI), anggota G77 dan anggota G20.
Dengan posisi yang kuat tersebut, menurut Indonesia berkesempatan memegang peran penting dalam menyuarakan kepentingan seluruh mahluk bumi di forum PBB tersebut.
Terkait pidato Presiden Joko Widodo saat pembukaan COP pada 30 November 2015 menurut dia sudah cukup jelas bahwa Indonesia mengakui tentang kebakaran hutan dan sudah menjelaskan strategi menangani kondisi tersebut.
"Presiden cukup legowo mengakui kebakaran hutan dan lahan yang sempat menjadi sorotan tapi dia juga menyampaikan strategi Indonesia untuk mengatasi kebakaran hutan itu, ini sangat bagus," kata dia.
Chalid menambahkan bahwa dalam COP ke-21 di Paris, Indonesia seharusnya mendukung ambang batas kenaikan suhu bumi sebesar 1,5 derajat Celcius.
"Karena kalau sudah dua derajat maka akan sangat mengerikan. Pertarungan melawan perubahan iklim lebih mengerikan dari perang, karena itu semua pihak perlu sadar," ujarnya.
Sementara Eksekutif Nasional Walhi, Pius Ginting menambahkan urgensi evaluasi tersebut, salah satunya tentang penggunaan paviliun Indonesia di arena KTT yang didominasi pihak swasta.
"Ini sangat ironis karena sebagian perusahaan yang memiliki rantai pasokan dengan perusahaan tanaman industri yang terbakar hutan dan lahannya justru mengisi diskusi dan seminar di pavilun seolah-olah menajadi penyelamat negara RI," katanya.
Pewarta: Helti Marini Sipayung
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015