... saya sudah memahami dan saya tidak akan mengajukan eksepsi."
Jakarta (ANTARA News) - Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang dengan cara menyamarkan hartanya hingga mencapai Rp83,599 miliar selama periode 2009-2010.
Tindakan terdakwa Nazaruddin dilakukan bersama-sama Muhajidin Nur Hasim, Neneng Sri Wahyuni (istri Nazaruddin), Muhammad Nazir, Aryu Devina dan Amin Andoko, kata jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Kresno Anto Wibowo di sidang pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.
Nazaruddin bersama istri dan teman-temannya itu didakwa melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan.
Kejahatan itu berupa perbuatan dengan sengaja menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain, ujar Kresno.
Jaksa menyebutkan, Nazaruddin menempatkan harga ke dalam Penyedia Jasa Keuangan menggunakan rekening atas nama orang lain dan rekening perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Permai Grup dengan saldo akhir seluruhnya senilai Rp50,205 miliar.
Uang itu dibayarkan atau dibelanjakan untuk pembelian tanah dan bangunan seluruhnya senilai Rp33,194 miliar, dan tanah berikut bangunan yang dititipkan dengan cara seolah-olah dijual atau dialihkan kepemilikannya senilai Rp200,265 miliar.
Diketahui atau patut diduga, menurut jaksa, hal itu merupakan hasil tindak pidana korupsi berkaitan dengan jabatan Nazaruddin selaku anggota DPR periode 2009--2014 atau senilai total Rp83,599 miliar.
"Karena, penghasilan resmi terdakwa sebagai anggota DPR-RI tidak sebanding dengan harta kekayaan yang dimiliki terdakwa, sehingga asal usul perolehannya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sah karena menyimpang dari profil penghasilan terdakwa sebagai anggota DPR," ungkap jaksa.
Padahal, ia mengemukakan, penghasilan Nazaruddin periode Oktober 2009--Agustus 2011 senilai Rp1,137 miliar, sedangkan berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tertanggal 22 Juli 2010 harta kekayaannya mencapai Rp112,207 miliar.
"Terdakwa selain anggota DPR merupakan pemilik dan pengendali kelompok usaha Anugrah Grup, yang kemudian menjadi Permai Grup, yang terdiri dari 33 perusahaan. Namun, dalam satu manajemen dan pengelolaan keuangannya dikelola secara terpusat di gedung Tower Permai," ungkap jaksa.
Sumber penerimaan keuangan Permai Grup, terutama berasal dari imbalan (fee) yang diberikan oleh pihak lain kepada terdakwa, karena terdakwa selaku anggota DPR telah mengupayakan pihak lain tersebut dalam mendapatkan sejumlah proyek yang dibiayai dari anggaran pemerintah.
Pada periode September 2009--Oktober 2010, Nazaruddin menerima uang dari pihak-pihak lain di antaranya dari PT Adhi Karya, PT Duta Graha Indah (PT DGI) dan PT Pembangunan Perumahan (PT PP), yang merupakan imbalan (fee) karena telah mengupayakan proyek-proyek pemerintah tahun 2009, dengan jumlah penerimaan kurang lebih senilai Rp76,536 miliar.
Selain dari penerimaan imbalan, jaksa mengemukakan, sumber penerimaan keuangan Permai Grup juga berasal dari keuntungan perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Permai Grup dalam mengerjakan berbagai proyek yang dibiayai dari anggaran pemerintah tahun 2009.
Nazaruddin menggiring anggarannya di DPR-RI dan mengatur proses pelelangannya sehingga perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Permai Grup tersebut ditunjuk sebagai pemenang atau rekanan penyedia barang/jasa dengan total keuntungan kurang lebih sebesar 40 persen dari total niali proyek yang dikerjakan yaitu Rp1,884 triliun.
Bahwa uang-uang yang berasal dari penerimaan imbalan maupun keuntungan mengerjakan proyek-proyek pemerintah tersebut diketahui atau patut diduga sebagai hasil tindak pidana korupsi berkaitan dengan jabatan Nazaruddin selaku anggota DPR-RI.
Terhadap uang-uang tersebut, jaksa mendakwa Nazaruddin bermaksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaannya yang diketahuinya atau patut diduganya berasal dari tindak pidana korupsi.
Atas perbuatan itu, Nazaruddin diancam dengan pasal 3 ayat (1) huruf a, c dan e UU No 15 tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No 25/2003 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP mengenai perbuatan menyamarkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan.
Ancaman bagi mereka yang terbukti melakukan perbuatan tersebut adalah penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar.
Atas dakwaan tersebut Nazaruddin mengatakan, tidak akan mengajukan nota keberatan (eksepsi).
"Terima kasih yang mulia, saya sudah memahami dan saya tidak akan mengajukan eksepsi," katanya.
Sidang dilanjutkan pada 16 Desember 2015 dengan agenda pemeriksaan saksi.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2015