Pekanbaru (ANTARA News) - Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Riau menahan mantan Bupati Pelalawan, Tengku Azmun Jaafar, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pembabasan lahan kompleks perkantoran pemerintah Bhakti Praja di Kabupaten Pelalawan.
"Penahanan dilakukan karena berkas kasus dari kejaksaan sudah lengkap atau P21, dan kami mendapat instruksi dari Kapolda Riau untuk mempercepat kasus ini agar segera melimpahkan tersangka dan barang bukti ke kejaksaan," kata Wakil Direskrimsus AKBP Ari Rahman Nafarin kepada Antara di Pekanbaru, Rabu.
Ia menjelaskan pihaknya menahan Tengku Azmun Jaafar pada Selasa sore (8/12) dengan menjemput ke rumah tersangka di Jalan Lumba-lumba, Pekanbaru. Bekas orang nomor satu di Pelalawan itu kini mendekam di tahanan Mapolda Riau di Pekanbaru.
Ari Rahman mengakui bahwa Tengku Azmun kini masih menjalani sisa masa hukuman dari kasus korupsi kehutanan yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tengku Azmun berstatus bebas bersyarat, setelah sebelumnya divonis 11 tahun penjara, dan sempat menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Sukamiskin, Jawa Barat.
"Hal ini tidak menutup penanganan pidana khusus yang lain. Kami akan berkoordinasi dengan LP Sukamiskin bahwa yang bersangkutan (Tengku Azmun) disidik ulang pada kasus yang lain," tegasnya.
Menurut dia, penanganan kasus terhadap Tengku Azmun berlangsung cukup lama karena tersangka juga terganjal kasus korupsi kehutanan yang ditangani KPK. Padahal, Polda Riau sudah mengusut kasus korupsi proyek perkantoran Bhakti Praja sejak empat tahun silam, dan Tengku Azmun telah ditetapkan sebagai tersangka sejak Mei 2015.
"Penyelidikan kasus ini sejak empat tahun lalu, sudah ada tujuh tersangka yang sudah vonis termasuk mantan Wakil Bupati Pelalawan. Jadi tertinggal satu tersangka Azmun Jaafar tak bisa diproses karena masih tersangkut hukum yang ditangani KPK," ujarnya.
Ari Rahman menjelaskan, pihaknya menemukan bukti yang kuat keterlibatan langsung dugaan korupsi Tengku Azmun Jaafar pada kasus Bhakti Praja. Kasus ini bermula pada tahun 2002, saat Pemerintah Kabupaten Pelalawan membeli lahan seluas 110 hektare yang akan dipergunakan sebagai lahan perkantoran pemerintah yang diberi nama Bhakti Praja. Setelah lahan tersebut dibayar oleh Pemkab Pelalawan pada 2002, ternyata dilakukan kembali pengadaan tanah untuk proyek yang sama pada tahun 2007, 2008, 2009 dan 2011.
Penyidik menemukan bukti bahwa lahan tersebut tidak dicatatkan sebagai aset Pemda sesuai Lampiran 2 huruf c Kepmendagri No.11/2011 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah, dan Pasal 1 angka 16 Peraturan Pemerintah No.105/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Sesuai perhitungan kerugian negara oleh BPK telah terjadi kerugian negara sebesar Rp38 miliar.
"Aliran dana ini ada juga yang masuk kepada Tengku Azmun Jaafar yang diberikan secara bertahap senilai Rp16 miliar. Jadi keterlibatan tersangka adalah sebagai kepala daerah yang menentukan pembelian tanah, dan ada keterlibatan langsung dugaan korupsi," katanya.
Dalam kasus ini Tengku Azmun Jaafar diduga melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 3 Jo Pasal 18 UU No.31 tahun 1999 sebagaimana yang diubah dengan UU No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana dan atau pasal 5 ayat (2) Jo Pasal 11 Jo Pasal 12 huruf b Jo Pasal 18 UU No.31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dengan begitu, Tengku Azmun Jaafar merupakan tersangka kedelapan yang ditetapkan Polda Riau dalam kasus ini. Sementara tujuh orang lainnya telah divonis bersalah dan kini menjalani hukuman di penjara.
Ketujuh orang itu adalah mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pelalawan Farisal Hamid, Lahmudin (mantan Kepala Dinas Pendapatan Daerah Pelalawan), Al Azmi (Kasie BPN Pelalawan), Tengku Alfian (PPTK pengadaan lahan dan staf Sekda Pelalawan), Rahmat (staf dinas pendapatan daerah ), Tengku Kasroen (mantan Sekretaris Daerah Pelalawan), dan Marwan Ibrahim (mantan Wakil Bupati Pelalawan).
Pewarta: FB Anggoro
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2015