"2019 kita bisa jadi eksportir stainless steel terbesar di dunia karena tahun 2015 ini investasi tertinggi itu di bidang usaha smelter," katanya dalam kunjungan ke Kawasan Industri Bantaeng, Sulawesi Selatan, Senin.
Sibarani menambahkan, pada 2016, pembangunan smelter juga masih akan mendominasi investasi di Indonesia lantaran banyaknya penyelesaian proyek dari rencana di tahun sebelumnya.
"2017 atau 2018 kemungkinan investasi (smelter) turun, tapi ekspor kita akan meningkat," katanya.
Ia mengingatkan, investasi smelter tidak bisa dilihat dalam jangka waktu pendek, tetapi harus melihat nilai tambah yang dihasilkan.
"Sekarang ekspor kita sangat sedikit terkait dengan nilai tambah mineral, tapi 2017-2018 akan banyak sekali," katanya.
Selain dua smelter feronikel di Kawasan Industri Bantaeng, menurut Sibarani, masih ada smelter sejenis di Morowali atau Konawe yang terus melakukan kerja sama dengan China dalam upaya memberikan nilai tambah produk mineral.
Ia menuturkan, smelter menjadi begitu strategis di Indonesia saat ini karena adanya larangan ekspor mineral mentah.
Smelter juga merupakan upaya terbaik untuk memberikan nilai tambah dan meningkatkan kesempatan kerja serta mendongkrak nilai pajak yang masuk.
"Kalau dulu mentah, tentu dengan smelter ini bisa memberikan nilai tambah dua hingga tiga kali lipat," ujarnya.
Menurut dia, semua smelter nikel memiliki target untuk memproduksi stainless steel yang nilai tambahnya bisa 200 kali lipat lebih tinggi.
"Semakin optimal nilai tambah, maka kita bjsa berikan lapangan kerja yang lebih berkualitas, pemasukan pajak juga bisa lebih tinggi lagi. Dan kita meninggalkan era ekspor barang mentah," katanya.
Pewarta: Ade Junida
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2015