"Jadi jelas sangat banyak kepentingan dalam negosiasi ini."

Paris (ANTARA News) - Ada target yang sejak awal ingin dihasilkan di Konferensi Negara Para Pihak untuk Perubahan Iklim (Conference of Parties/COP) 21 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Paris,Prancis.

Kesepakatan Paris (Paris Agreement) dapat menggantikan posisi Protokol Kyoto yang dianggap sudah tidak relevan dengan percepatan kerusakan bumi akibat peningkatan suhu bumi.

Sebuah kesepakatan baru yang mengikat (legally binding) bagi negara di dunia untuk lebih serius menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) demi menekan peningkatan suhu bumi dua derajat Celsius di 2100 mulai digagas COP 17 UNFCCC di Durban pada 2011, dan terus dibahas sehingga disepakati Lima Call for Climate Action pada COP 20 di Lima, Peru, sebagai teks draf untuk dasar perundingan kesepakatan baru yang biasa disebut sebagai 2015 Paris Agreement.

Apa yang terjadi jika suhu bumi meningkat dua derajat Celsius di 2100?

Telaah para ilmuwan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) melalui Assessment Report Kelima (AR 5) mengindikasikan kenaikan suhu global antara 1,1 hingga 6,4 derajat Celsius terjadi sejak 1990 hingga 2100.

Model iklim yang digunakan para ilmuwan tersebut menunjukkan pemanasan global akibat efek gas rumah kaca yang muncul sejak pertengahan abad 20 berasal dari aktivitas manusia di bumi.

Peningkatan suhu global diperkirakan akan lebih terasa di bagian bumi bagian utara yang memicu cairnya gletser di bumi utara yang berdampak pada peningkatan permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrem.

Dampak lebih jauh ke pertanian, pola presipitasi, punahnya berbagai jenis flora dan fauna yang berujung memicu persoalan sosial dan politik banyak negara.

Kesepakatan baru yang diupayakan tercapai di Paris ini mencakup komponen mitigasi, adaptasi, pendanaan, pengembangan dan transfer teknologi, Pengembangan kapasitas, dan transparansi informasi mengenai aksi adaptasi dan mitigasi yang telah dilakukan dan dukungan yang diperoleh.

Menteri Lingkungan Peru yang juga merupakan Presiden COP 20 Manuel Pulgar-Vidal saat pembukaan COP 21 sudah mengatakan "musuh bersama" dunia untuk saat ini adalah masalah terorisme dan perubahan iklim.

Kehadiran 150 kepala negara dan pemerintahan di Leaders Event, menurut dia, seharusnya bisa menjadi kekuatan politik yang bagus untuk segera mencapai kesepakatan bersama di Paris.

Sebelumnya Presiden COP 21 Laurent Fabius mengatakan akan memastikan Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim ini akan dilaksanakan dengan terbuka dan transparan.

"Harapannya konferensi di Paris akan dapat menyelesaikan dan mengadopsi hasil ADP (Ad Hoc Working Group on the Durban Platform for Enhanced Action--red). Kita hanya punya waktu pendek 11 hari untuk hasilkan instrumen verifikasi legal dan harus berhasil," kata Fabius.

Ia berjanji akan terbuka dengan masukan dari semua negara. Prancis negara independen dan akan menempatkan semua di negara di posisi yang sama, karenanya semua akan diakomodasi di COP 21.

Ia juga menegaskan tidak akan ada agenda terselubung sehingga dirinya selaku Presiden COP 21 akan benar-benar mendapat kepercayaan dari semua. Akan terbuka banyak opsi yang muncul, namun harapannya akan ada kesepakatan di ADP yang mampu menghasilkan final kebijakan politik.

Sukses COP 21, menurut dia, belum di tangan. Untuk bisa mencapai keberhasilan masih banyak yang perlu dilakukan melalui presentasi komitmen setiap negara dalam menahan peningkatan suhu dua derajat celsius.

Perundingan sangat lambat
Namun sayang, kehadiran dan komitmen yang diberikan para kepala negara dan pemerintahan di awal pelaksanaan COP 21 tidak serta-merta membuat para para juru runding atau negosiator negara para pihak dapat menerapkannya dalam proses negosiasi.

Keluhan dari banyak pihak tentang melambatnya proses perundingan disampaikan banyak pihak, termasuk oleh Utusan Khusus Presiden Joko Widodo untuk Penanggulangan Perubahan Iklim Rachmat Witoelar yang mengatakan terlalu banyak juru runding "bayaran" COP 21 sehingga membuat proses perundingan berjalan lambat.

"Kenapa negosiatornya(mereka) bisa (punya pemikiran) beda (dengan komitmen yang disampaikan kepala negara dan pemerintahan), ini karena negosiatornya (juru rundingnya) bayaran. Saya rasa ini tidak usah ditutupi karena semua yang ada di konferensi tahu," kata Rachmat Witoelar.

Alasan kedua yang, menurut dia, menyebabkan pembicaraan untuk mencapai Kesepakatan Paris adalah mereka/negosiator masih berpikiran business as usual (BAU) dalam menyelesaikan persoalan perubahan iklim.

"(Cara berpikir) Ini yang menjadi musuh dalam mencapai Paris Agreement," ujar dia.

Dengan kondisi pembicaraan yang berjalan sangat lambat, menurut dia, format perundingan di tingkat menteri akan sedikit berubah dan bisa berakhir dengan "deal making".

"Itu tidak baik karena mengingkari kebutuhan semua untuk mencapai satu keputusan peningkatan suhu dua derajat Celsius. Saya imbau (juru runding) lakukan sesuai komitmen kepala negaranya/ pemerintahannya," ujar Rachmat.

Namun yang jelas, Rachmat menegaskan "differentiation" yang selama ini menjadi isu utama yang menggambarkan perbedaan sikap antara negara maju dengan berkembang terkait kewajiban penurunan emisi tidak bisa dilangkahi. Tugas menteri untuk membuka kebuntuan-kebuntuan yang muncul di minggu pertama negosiasi COP 21.

Perwakilan Delegasi Republik Indonesia atau Delri yang juga Deputi Menteri Koordinator Bidang Kedaulatan Maritim Arif Havas Oegroseno mengatakan isu utama dalam pembicaraan ini terkait kesepakatan mengikat (legally binding) menjadi salah satu perdebatan baik di antara negara maju maupun dengan negara berkembang, dan jelas banyak kepentingan di dalamnya.

Jika Uni Eropa meminta kesepakatan mengikat untuk target dari penurunan emisi sesuai Intended Nationally Determined Contributions (INDC) maka Amerika Serikat (AS) justru meminta kesepakatan mengikat untuk penurunannya saja.

"Masalahnya kalau yang legally binding itu targetnya mereka (Pemerintah AS) bisa dihajar oleh parlemennya."

Sementara itu, ia mengatakan negara-negara di Afrika justru meminta agar target dan proses pencapaian target INDC menjadi legally binding, ditambah dengan dukungan fasilitas.

"Jadi jelas sangat banyak kepentingan dalam negosiasi ini," kata Arif Havas.

Mekanisme pengkajian atau review hasil penurunan emisi pasca2020 dan soal mekanisme finansial juga dibahas, dan juga menjadi masalah sehingga menghambat perundingan.

Menurut dia, negara-negara kecil dan berkembang lupa bahwa negara-negara besar seperti AS dan di Uni Eropa sedang menghadapi persoalan finansial juga, ditambah lagi dengan masalah krisis pengungsi.

Hal lain yang, menurut Havas, juga perlu dicatat, bahwa di awal masa pembicaraan sudah mulai terlihat negara-negara yang di tingkat teknis sudah menunjukkan sikap "bermuka dua" sehingga kesepakatan sulit tercapai.

"Ada tiga negara poker face, tapi di tingkat teknis. Itu Arab Saudi, Venezuela, dan Rusia," ujar dia.

Karena itu, ia mengatakan pembahasan di level menteri yang satu-satunya yang diharapkan bisa menyelesaikan hambatan-hambatan di level tim perunding.

(T.V002/B/A011/A011)

Oleh Virna P Setyorini
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015