Dhaka, Bangladesh (ANTARA News) - Dengan berbekal sekop dan keranjang, mereka berdiri di sekitar trotoar setiap pagi untuk dipekerjakan; puluhan kelompok pekerja harian semacam itu menjadi pemandangan lumrah di pinggiran banyak jalan di Ibu Kota bangladesh, Dhaka.
Kebanyakan dari mereka adalah lelaki dan perempuan yang mengenakan pakaian kotor dan kumal, yang menjadi milik mereka sejak masih baru atau bekas.
Sekitar pukul 11.00 waktu setempat pada Kamis (3/12), sekelompok enam atau tujuh pekerja berkumpul di trotoar jalan utama di Daerah Kawran Bazar di Dhaka.
Zamila Khatun, salah seorang dari mereka, mengatakan selama dua jam ia telah menunggu di sana bersama yang lain untuk dipekerjakan tapi keberuntungan belum menghampiri mereka.
"Saya kira hari ini kami tidak beruntung untuk memperoleh pekerjaan," kata Zamila --yang kelihatan pucat. "Saya tak pernah mengira dalam hidup saya belakangan ini bahwa suatu hari saya harus bekerja sebagai kuli harian dan menjalani hidup yang menyedihkan di sini."
"Saya tak mau tinggal di Dhaka seperti pengemis pinggir jalan, tapi saya tak punya tempat tujuan. Siapa yang mau menjalani hidup di daerah kumuh," demikian pertanyaan yang dilontarkan oleh Zamila, sebagaimana dikutip Xinhua. Sementara itu senyum kecut menghiasi wajah perempuan tersebut.
Zamila Khatun mengatakan lahan pertanian keluarga suaminya di Satkhira di Bangladesh Selatan lenyap akibat diterjang topan kuat pada 2009.
Topan Aila, yang terbentuk di Teluk Benggala, memporak-porandakan daerah pantai di bagian barat-daya Bangladesh pada 25 Mei 2009, sehingga 179 orang tewas dan lebih dari tiga juta orang terpengaruh di sebanyak selusin kabupaten di daerah pantai.
Seperti juga Zamila, Abdul Gaffar juga adalah pengungsi akibat perubahan iklim.
Gaffar juga menceritakan kisah yang menyakit yang dimulai dengan naiknya permukaan air laut, kelangkaan air, penggurunan dan perubahan lain lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.
Ia mengatakan menjalani hidup di wilayah pantai Bangladesh sangat sulit sekarang karena makin banyak air laut merendam tanah, sehingga menciptakan dampak pada produksi pangan.
"Kuatnya kadar garam pada tanah telah menciptakan ancaman serius pada upaya petani untuk memproduksi gabah dan tanaman lain," katanya. Tanpa adanya penyelesaian yang terlihat untuk memerangi kemarahan alam, Gaffar mengatakan ia telah memindahkan keluarganya ke Dhaka.
Seperti Gaffar dan Zamila Khatun, ribuan orang setiap tahun telah meninggalkan rumah nenek-moyang mereka akibat hilangnya kehidupan di daerah pedesaan akibat perubahan iklim --penyebab utama bagi upaya untuk meredakannya di desa dan kota, yang kini menjadi skenario umum di negara berkembang seperti Bangladesh.
Kebanyakan migrasi iklim itu pindah ke berbagai daerah kumuh di Dhaka dan daerah kota yang berdekatan.
Negeri itu, yang berbatasan dengan Teluk Benggala, telah menjadi kian rentan belakangan ini akibat masalah yang berkaitan dengan iklim seperti topan, banjir sementara kemampuannya untuk melindungi tanah dan rakyatnya lemah.
(Uu.C003)
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2015