Seoul (ANTARA News) - Puluhan ribu pengunjuk rasa berkumpul di Seoul, Sabtu, menuduh Presiden Park Geun-Hye mengorbankan pekerja dan petani untuk usaha besar dan menulis ulang buku sejarah guna mengagungkan pemerintah bapaknya.
Sekitar 30.000 orang berkerumun, sebagian besar dari mereka mengenakan masker untuk menentang seruan Park, yang melarang penggunaan masker selama berunjuk rasa, berbaris melalui pusat kota di balik spanduk bertuliskan "Resign Park Geun-Hye", meneriakkan slogan.
Polisi pada awalnya melarang unjuk rasa pada Sabtu, namun penyelenggara unjuk rasa mengajukan permohonan kepada Pengadilan Administratif Seoul, yang kemudian berbalik sikap, membuka jalan bagi unjuk rasa besar kedua di ibu kota itu dalam satu bulan.
Unjuk rasa pertama, 14 November, diikuti sekitar 60.000 orang dan banyak bentrokan pengunjuk rasa dengan polisi, yang menggunakan meriam air.
Dalam peristiwa tersebut, petani Baek Nam-Ki (69) mengalami koma setelah tersungkur ke tanah akibat terkena siraman meriam air selama bentrokan di luar Kantor Pemerintah Distrik Jongro.
Penyelenggaran unjuk rasa berjaji untuk meningkatkan unjuk rasa damai sekarang dam 300 tokoh agama, termasuk Buddha, Katholik, dan Protestan, masing-masing membawa bunga membantu mencegah pengunjuk rasa melintasi garis polisi.
Saat memimpin kabinet pemerintahan pada 24 November, Park menjelaskan bahwa pada demonstrasi sebelumnya yang mengusung tema "menafikan aturan hukum dan melumpuhkan pemerintah", menyerukan tindakan keras kepada mereka yang menghasut ""ilegal, protes kekerasan".
Dia juga menyerukan larangan penggunaan masker oleh para pengunjuk rasa, dengan menganggap semacam praktik yang diadopsi dari kelompok ISIS, memicu kemarahan dari para penentang.
Pemerintahan Park menghadapi kebencian atas berbagai kebijakan, termasuk rencana pengadaan buku sejarah baru di sekolah, membuka lebih luas pasar pertanian dan reformasi tenaga kerja, membuat pemutusan hubungan kerja (PHK) lebih mudah, dan memangkas upah pekerja yang lebih tua.
"Presiden Park, jangan berupaya mengembalikan sejarah bangsa Korea Selatan ke sejarah pribadi keluargamu," demikian banner yang dibawa seorang pelajar putri yang berunjuk rasa di luar Balai Kota Seoul.
"Kami bukan ISIS, kami hanya pelajar yang miskin", kata slogan lain yang dibawa oleh sekolah remaja putri tersebut.
Unjuk rasa pada Sabtu merupakan gabungan yang diselenggarakan oleh beberapa kelompok, termasuk aktivis militan Konfederasi Serikat Pekerja Korea (KCTU), perhimpunan federasi para petani yang dikenal dengan nama Jeonnong, ikatan guru nasional, dan paguyuban masyarakat miskin perkotaan.
Presiden KCTU Han Sang-Kyun dalam pesan video mengatakan bahwa unjuk rasa tersebut pihaknya mengumumkan pemogokan buruh secara massal pada 16 Desember. Han telah berlindung di sebuah kuil Buddha di Seoul untuk menghindari penangkapan agar busa memimpin unjuk rasa sebelumnya.
KCTU mengklaim 700.000 anggotanya bekerja di lebih dari 2.000 perusahaan, ermasuk industri yang memegang peranan kunci ekspor seperti pembuat mobil dan galangan kapal.
Pengamat menganggap Park, meskipun pada pemilu berjanji akan merangkul pihak lawan untuk persatuan nasional, makin bergantung pada taktik tangan besi yang digunakan oleh mendiang bapaknya Park Chung-Hee, pemimpin otoriter yang memerintah selama 18 tahun hingga dia tewas terbunuh pada 1979, demikian AFP melaporkan.
(M038)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015