Hal pertama yang perlu dilakukan adalah pengembangan energi terbarukan agar struktur perekonomian tidak dibebani lagi dengan impor minyak, kata Direktur Keuangan Negara dan Analisa Moneter Kementerian PPN/Bappenas Sidqy Lego Pangesthi di Jakarta, Jumat,
"Kita selama ini abai dengan energi alterantif, padahal kita memiliki kekayaan gas dan batu bara. Triwulan I dan II, impor migas kita sampai 12,3 miliar dolar AS," kata dia. Tahun 2014, impor migas mencapai 40 miliar dolar AS.
Sidqy mengungkapkan selama 10 tahun terakhir, kesempatan untuk mengembangkan energi terbarukan telah terlewatkan begitu saja.
Daripada mengalokasikan anggaran untuk subsidi minyak, yang malah berakhir tidak tepat sasaran, seharusnya anggaran dialokasikan lebih banyak untuk pembangunan infrastruktur energi terbarukan.
"Misalnya untuk bangun satu Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas saja kita butuh Rp30 miliar," ucapnya.
Jika dalam lima tahun saja, kata dia, dialokasikan Rp40 triliun untuk infrastruktur pengembangan gas, sudah tercipta 500 SPBG yang bisa disebarkan di seluruh wilayah di Indonesia.
"Itu baru penghematan dari sisi minyak dan gas bumi yang selama ini terlambat. Di Thailand, hampir 100 persen mobil dan motor mengunakan gas, karena lebih murah dan ramah lingkungan," ujarnya.
Sidqy mengatakan sejak Rencana Kerja Pemerintah untuk 2015, Kementerian ESDM sudah diamanatkan untuk mengembangkan energi terbarukan. Di RKP 2016, Bappenas mengusulkan anggaran energi terbarukan hingga 30 persen dari total anggaran ESDM.
Upaya kedua, lanjut Sidqy, adalah pengembangan industriliasasi. Sidqy menyebutkan Indonesia terlena dengan tingginya harga komoditas pada 2008-2011, hingga lupa dalam mengembangkan industrialisasi atau mengembangkan sektor pengolahan.
Akibatnya saat ini, pertumbuhan industri hanya di kisaran 5 persen dan kontribusinya sekitar 20 persen terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB).
"Sebelum era reformasi, kita menikmati pertumbuhan industri sampai 10 persen, kontribusinya bisa sampai 32 persen ke PDB," tuturnya.
Selain itu, lambannya pertumbuhan industri juga karena minimnya anggaran belanja modal yang seharusnya bisa dipergunakan untuk membangun infrastruktur dan sumber energi di kawasan industri.
"Termasuk smelter (instalasi pengolahan dan pemurnian). Sekarang kita baru giatkan lagi untuk bangun smelter," ujarnya.
Dengan industrialisasi, ujarnya, produktivitas masyarakat yang akan menopang pemerataan pertumbuhan akan semakin mudah terealisasi.
"Industri akan membutuhkan banyak lapangan kerja. Dengan begitu tingkat kemiskinan bisa berkurang," katanya.
Sedangkan, upaya ketiga, kata Sidqy, adalah perbaikan tata kelola niaga. Buruknya tata kelola niaga di Indonesia selama ini juga membuat impor sulit dihentikan.
"Ini perlu perbaikan sangat menyeluruh untuk tata kelola niaga ini," ujarnya.
Selain ketiga upaya tersebut, Sidqy mengakui arus dana keluar memang terus membebani Indonesia, di tengah ketidakpastian ekonomi global sepanjang 2015.
Sidqy menilai neraca pembayaran Indonesia masih akan mengalami defisit tahun ini, terutama karena arus dana keluar dan buruknya ekspor.
Bank Indonesia juga sebelumnya mengemukakan pandangan bahwa neraca pembayaran akan defisit tahun ini sekitar 5-6 miliar dolar AS.
"Defisit neraca pembayaran tahun ini dipicu masih defisitnya aliran ekspor dan impor barang/jasa, serta arus dana keluar yang lebih banyak dibanding arus dana masuk," kata Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara.
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015