Jakarta (ANTARA News) - Pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2015 diperkirakan mencapai 4,8 persen, didorong akselerasi belanja pemerintah pada triwulan terakhir dan efek berlipat dari sejumlah paket kebijakan, kata Direktur Keuangan Negara dan Analisa Moneter Bappenas Sidqy Lego Pangesthi.
"Di triwulan IV 2015 dengan pola belanja pemerintah yang sangat meningkat, diharapkan pertumbuhan bisa 5,1 persen. Sehingga full year bisa 4,8 persen," kata Sidqy di Jakarta, Jumat.
Sidqy menilai capaian pertumbuhan tersebut bukan hasil yang buruk, mengingat perlambatan ekonomi global yang terus terjadi sepanjang tahun, di tambah masa transisi perekonomian, yang salah satunya menyebabkan lambannya serapan anggaran.
Dia mengatakan pemerintah terus mejalankan upaya-upaya reformasi struktural, termasuk dengan mengeluarkan kebijakan yang "ramah" investasi dan mendukung dunia usaha.
Namun, beberapa kebijakan pemerintah, yang banyak mencakup deregulasi birokrasi dan industrialisasi, kata Sidqy, memberikan manfaat secara bertahap dan akan terasa signifikan dalam jangka menengah dan jangka panjang.
"Mungkin tidak bisa terasa dalam waktu dekat, namun manfaatnya akan berkepanjangan, dan 2016 kita bisa mulai menikmatinya," ujarnya.
Sidqy mencontohkan percepatan realisasi anggaran telah diterapkan dan berlanjut pada 2016. Beberapa kementerian teknis infrastruktur, kata dia, telah memulai lelang proyek infrastruktur dan pengerjaan fisiknya akan dimulai sejak awal 2016.
Dengan begitu dia memperkirakan, pada 2016, tren pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5,0 persen per triwulannya. Adapun, secara tahunan, target pertumbuhan 2016 sebesar 5,3 persen sangat mungkin tercapai.
Dengan dinamika perekonomian global yang terjadi sepanjang 2015, Sidqy menilai defisit ganda masih akan menimpa perekonomian Indonesia. Selain defisit anggaran, Sidqy memperkirakan neraca pembayaran dan neraca transaksi berjalan juga akan mengalami defisit.
Namun, untuk defisit transaksi berjalan, Sidqy meyakini, defisitnya akan mengecil mendekati prediksi Bank Indonesia di sekitar 2,1 persen terhadap Produk Domestik Bruto.
Defisit tersebut karena masih adanya tekanan impor migas, dan juga lesunya ekspor karena pelemahan harga komoditi.
"Maka dari itu, kita perlu jalankan energi terbarukan, agar tidak tergantung terus dengan impor migas. Selain itu perlu industrialisasi untuk naikkan ekspor bernilai tambah," ujarnya.
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2015