Pada prinsipnya, kita akan memperjuangkan agar hutan tetap bisa dikelola sebagai aset produktif bangsa dengan tetap menjaga kelestarian,"
Jakarta (ANTARA News) - Indonesia akan memperjuangkan pengelolaan hutan sebagai aset produktif bangsa tanpa mengabaikan kelestarian lingkungan dalam Conference of the Parties to The United Nations Frame on Climate Change (COP 21/CMP11) di Paris, 30 November-11 Desember 2015.
Penasehat delegasi Indonesia COP 21 Christianto Wibisono di Jakarta, Kamis menyatakan, sebagai paru-paru dunia, hutan Indonesia harus dijaga, namun sebagai pemilik hutan terbesar ketiga di dunia, tidak ada larangan bagi Indonesia untuk memanfaatkan dan mengelola hutan bagi kemakmuran bangsa.
"Pada prinsipnya, kita akan memperjuangkan agar hutan tetap bisa dikelola sebagai aset produktif bangsa dengan tetap menjaga kelestarian," katanya.
Terkait dengan hal itu, menurut Pendiri Pusat data Bisnis Indonesia (PDBI) itu, perlu adanya pemaparan tentang pentingnya sinergi antara ekologi dan ekonomi menjadi isu Indonesia pada COP 21.
"Ini agar Indonesia tidak didikte oleh negara maju dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mengataskan lingkungan dalam pemanfaatan pengelolaan hutan," katanya.
Dia mengungkapkan, PDBI merupakan salah salah pengusul penggabungan dua kementerian menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), tujuannya mensinergikan dimensi ekologi dan ekonomi.
Oleh karena itu, kata Christianto, Indonesia harus bisa memaparkan dengan baik sinergi dua dimensi yang kelihatan bertentangan tersebut dalam dalam COP 21 tersebut.
Menurut dia, kebijakan agar negara pemilik hutan tidak diintervensi negara lain sebenarnya telah digagas Presiden SBY dan Presiden Brasil Luiz Ignacio Lula da Silva pada 24 September 2007 di sela-sela KTT Lingkungan Hidup PBB di New York.
Saat itu, sebanyak 11 negara lokasi hutan hujan tropis membentuk Forestry 11, dan kini berkembang menjadi 14 negara bertujuan agar negara-negara pemilik hutan bisa menentukan arah kebijakan persis seperti OPEC zaman dulu yang punya kekuatan untuk menentukan harga minyak dunia.
Hal seperti itu yang harus diperjuangkan terus menerus, lanjutnya, industri kelapa sawit juga harus bisa menentukan nasib sendiri, harus memperkuat Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) agar dapat menentukan keputusan strategis seperti penetapan harga CPO dunia dan kebijakan lain dari hulu sampai ke hilir,
"Kita tidak boleh didikte negara maju dan LSM manapun dalam pemberdayaan aset ekonomi. Justru Indonesia harus jadi penentu berbagai kebijakan," kata dia.
Christianto menyatakan, Indonesia, berpeluang menjadi raja sawit dan raja kayu dunia oleh karena itu siapapun harus mendukung target itu termasuk LSM yang beroperasi di dalam negeri.
Terkait pengelolaan gambut, dia menilai Indonesia bisa belajar banyak dari negara lain karena gambut tidak hanya ada Indonesia, tapi ada di seluruh dunia.
"Terpenting bagaimana kita bisa mengelolanya dengan belajar dari negara lain dan berkomitmen agar kebakaran tidak terulang," katanya.
Pemerintah, kata Christianto harus kembali membangkitkan gagasan Indonesia incorporated yang menghendaki penciptaan multisinergi sektor pemerintah dengan korporasi dalam pelibatan pembangunan ekonomi yang terintegrasi.
Pewarta: Subagyo
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015