Jakarta (ANTARA News) - Angka kejadian (prevalensi) gizi kurang di 53 kabupaten/kota di Indonesia masih di atas 40 persen dari populasi balita.
Kepala Sub Direktorat Gizi Makro Direktorat Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan Dr. Minarto, MPS di Jakarta, Kamis, mengatakan ke-53 kabupaten/kota dengan masalah gizi terparah itu tersebar di hampir semua provinsi di Indonesia.
"Data rincinya saya tidak hafal, tapi yang jelas hampir merata di semua provinsi kecuali DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Bali. Yang paling banyak di Papua dan Kalimantan," katanya pada seminar mengenai kemitraan dalam mengatasi masalah gizi.
Dalam Seminar yang diadakan Koalisi untuk Indonesi Sehat bekerjasama Exxon Mobil itu, ia menambahkan pula bahwa prevalensi gizi kurang yang sangat tinggi atau 30 persen hingga 40 persen dari populasi balita juga masih terjadi di 116 kabupaten/kota di Tanah Air.
Upaya penanggulangan masalah gizi yang telah dilakukan pun, diakuinya, belum dapat menurunkan angka kejadian gizi kurang dan buruk nasional dalam beberapa tahun terakhir.
"Sebab kalau kita lihat, data kasus gizi buruk dan gizi kurang tidak mengalami perubahan yang signifikan dari tahun ke tahun," katanya.
Sebagai gambaran, angka kejadian gizi buruk dan kurang yang pada balita tahun 2002 masing-masing 8 persen dan 27,3 persen, pada 2002 masing-masing meningkat menjadi 8,3 persen persen dan 27,5 persen serta pada 2005 naik lagi menjadi masing-masing 8,8 persen dan 28,0 persen.
Kondisi tersebut cukup memrihatinkan mengingat selain berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan anak, kekurangan gizi juga termasuk salah satu penyebab utama kematian balita.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) tahun 2002 menunjukkan 60 persen kematian bayi dan balita terkait dengan kasus gizi kurang.
Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa masalah kekurangan gizi umumnya ditemukan pada daerah rawan pangan, daerah dengan jumlah penduduk miskin tinggi, serta daerah yang belum mempunyai akses memadai terhadap sarana air bersih dan pelayanan kesehatan.
"Masalah ini berkaitan dengan banyak hal sehingga penyelesaiannya pun harus dilakukan dengan melibatkan semua sektor terkait, bukan hanya Departemen Kesehatan saja," katanya.
Ia menjelaskan gizi buruk dan gizi kurang pada balita terjadi melalui proses yang panjang dan utamanya sangat ditentukan oleh pemenuhan kebutuhan nutrisi pada masa emas dan masa kritis pertumbuhan balita yakni sejak janin masih dalam kandungan hingga bayi dilahirkan dan berusia dua tahun.
"Oleh karena itu intervensi juga dilakukan sejak janin masih dalam kandungan hingga bayi dilahirkan. Dalam hal ini pemberian Air Susu Ibu secara ekslusif sangat penting," paparnya serta menambahkan program intervensi Departemen Kesehatan juga meliputi hal-hal tersebut.
Departemen Kesehatan, kata dia, telah membuat berbagai program guna mengatasi masalah gizi buruk dan kurang serta menargetkan menurunkan kasus gizi buruk menjadi lima persen dan gizi kurang menjadi berturut-turut 20 persen pada 2009.
Program penanggulangan masalah gizi Departemen Kesehatan, ia melanjutkan, meliputi peningkatan pendidikan gizi, pemberdayaan masyarakat melalui pembentukan Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi), peningkatan surveilans gizi dan penanganan masalah kekurangan gizi mikro.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007