Jakarta (ANTARA News) - Ketua Komite Pengarah Indonesia Bergerak Selamatkan Bumi (SiagaBumi) Din Syamsuddin menyampaikan mengenai penanggulangan kerusakan ekosistem dengan pendekatan agama ketika ia berbicara dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim (COP21) di Paris, Prancis.
"Melalui SiagaBumi juga kami ikut menanggulangi dampak perubahan iklim dan kerusakan ekosistem melalui pendekatan keagamaan," kata Din yang juga mantan Ketua Umum Muhammadiyah ini lewat keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Selasa.
Pada Minggu (30/11), Din berbicara di Pavilion Indonesia pada sesi "Interfaith Dialogue: Faith Action for Climate Solution" bersama empat tokoh/aktivis lintas agama lain dengan moderator mantan Menteri Luar Negeri Hassan Wirayuda.
Din mengatakan kerusakan lingkungan hidup, perubahan iklim dan pemanasan global adalah masalah moral, sementara krisis lingkungan adalah manifestasi krisis moral.
Oleh karena itu, lanjut dia, solusi terhadap perubahan iklim yang menjadi salah satu fokus COP21 di Paris harus menyertakan pendekatan moral dan etika agama. Tanpa landasan dan pendekatan moral maka solusi menjadi tidak berarti dan tidak akan sejati.
Menurut Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia ini, kitab suci Islam yaitu Alquran pada empat belas abad silam sudah menegaskan semua kerusakan di muka bumi adalah akibat ulah perbuatan manusia. Dengan kerusakan itu, Allah akan memberikan bukti tentang dampak perbuatan manusia terhadap lingkingan tersebut agar mereka sadar.
"Maka, penanggulangan masalah perubahan iklim dengan segala dampaknya harus menjadi tanggung jawab bersama semua umat beragama," kata dia.
SiagaBumi yang merupakan gerakan nasional lintas agama, kata dia, tengah melakukan gerak aksi berupa penyadaran untuk pemuliaan lingkungan hidup, penciptaan Eco-Rumah Ibadah (Eco-RI) dan penciptaan sungai bersih.
Terkait Eco-RI, lanjut dia, SiagaBumi telah meluncurkan Eco-Vihara di Bogor pada akhir Oktober lalu dan Eco-Masjid direncanakan diluncurkan pada awal Januari 2016. Selanjutnya akan disusul oleh Eco-Masjid, Eco-Gereja, Eco-Pura, Eco-Klenteng dan lainnya.
"Kita perlu mulai dari menjadikan rumah Tuhan sebagai tempat ramah lingkungan, sebelum kita bergerak memuliakan bumi ciptaan-Nya," kata Ketua Ranting Muhammadiyah Pondok Labu, Jakarta ini.
Eco-Rumah Ibadat tersebut akan mengambil bentuk pengasrian bangunan, pengasrian halaman melalui penanaman pohon dan perbaikan sanitasi atau saluran air. Sedangkan gerakan kali bersih akan diawali dengan perubahan cara pandang dan budaya masyarakat bahwa sungai bukan tempat pembuangan barang-barang buruk, kata Din.
Aliran air dan sumber mata air, kata dia, harus dikembalikan ke fungsinya sebagai bagian dari kehidupan serta penghidupan.
"Solusi atas kerusakan lingkungan hidup, perubahan iklim dan pemanasan global tidak dapat ditangani satu pihak saja, tapi merupakan tanggung jawab bersama. Pada titik tanggung jawab kolektif inilah agama-agama menemukan titik temunya," kata dia.
Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015