Oleh Masduki Attamami Yogyakarta (ANTARA News) - Maju kena mundur kena. Itu yang kini dihadapi pemerintah terkait dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 yang masih disikapi pro dan kontra oleh berbagai pihak. Saling tuding antarpihak yang terkait, siapa yang salah dan siapa yang tidak mau disalahkan dengan adanya PP 37/2006 itu, kini semakin meruncing. Apalagi dengan aksi sejumlah anggota DPRD dari berbagai daerah yang datang ke Jakarta untuk memprotes revisi PP tersebut, menjadikan posisi pemerintah serba salah. Reaksi para wakil rakyat yang tergabung dalam Asosiasi DPRD kabupaten/kota se-Indonesia (Adeksi) itu, tampaknya menyebabkan pemerintah pusat agak mengendorkan langkah untuk merevisi, apalagi mencabut PP 37/2006 yang mengatur Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD ini. PP yang juga mengatur besaran tunjangan komunikasi intensif dan operasional DPRD, terutama pasal 14 (d) yaitu pasal tentang pemberlakuan surut PP tersebut, kini bagaikan `bola liar` yang ditendang ke sana-ke mari. `Bola liar` PP 37/2006 ini pun menggelinding terus, bersamaan dengan munculnya beragam tudingan yang ditujukan kepada pemerintah maupun DPRD sendiri. Seperti tudingan dari seorang anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Hasto Kristianto bahwa pemerintah memang berniat cari keuntungan dari PP 37/2006. Kata dia, DPP PDI Perjuangan sejak awal sudah menolak PP 37/2006, karena ada niat tersembunyi pemerintah untuk mencari keuntungan. "Dampaknya pun dahsyat. Seluruh anggota DPRD dianggap sebagai pencuri APBD untuk kepentingan pribadi," katanya di Jakarta. Ia bahkan mengatakan PP ini merupakan upaya adu domba antara DPRD dengan rakyat. "Dan harus dicatat besar-besar, keluarnya PP tersebut murni inisiatif pemerintah, dan ini menunjukkan `leadership` serta koordinasi yang lemah di jajaran Kabinet Indonesia Bersatu (KIB)," kata dia. Buktinya, demikian Hasto Kristianto, para menteri saling menyalahkan, dan Presiden RI tampil sebagai pahlawan dengan merevisi PP tersebut. "Karena itulah, harus diluruskan persepsi keluarnya PP itu sebagai tekanan politik dewan kepada pemerintah. Sekarang, wajar jika anggota DPRD akhirnya menjadi korban dan terjebak dalam politik tebar pesona ala pemerintah dengan mempermainkan PP yang harusnya sebagai produk perundang-undangan, hanya menjadi alat untuk delegitimasi parpol dan DPRD," katanya. Menurut dia, seharusnya pemerintah memfokuskan PP untuk pemberdayaan rakyat kecil daripada PP yang hanya sekadar mendiskreditkan dewan. "Saya paham, secara institusional dewan masih belum memenuhi harapan rakyat, dan itu harus diselesaikan bersama melalui peningkatan akuntabilitas parpol," kata Hasto Kristianto. Pemerintah salah? Anggota DPR RI lainnya masih dari Fraksi PDIP bahkan menyalahkan pemerintah, sehingga muncul protes dari kalangan DPRD. "Salah pemerintah, kenapa membuat kebijakan, dan ditarik lagi. Itu lucu," kata anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDIP Eva K Sundari di Jakarta. Menurut dia, perkembangan masalah PP 37/2006 justru memojokkan DPRD. Padahal PP ini berlaku surut, kenapa dana yang sudah diberikan ditarik lagi. Ia menilai pencabutan PP tersebut merupakan persoalan pemerintah, dan tidak ada hubungannya dengan DPRD. "Saya mendorong agar DPRD protes kepada pemerintah," katanya. Sementara itu, meskipun tidak secara langsung menyalahkan pemerintah, Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid berharap agar `pro-kontra PP 37/2006` bisa menjadi pelajaran terutama bagi pemerintah. "Ini juga pelajaran bagi pemerintah agar kasus-kasus seperti ini tidak terjadi lagi, baik di pusat maupun di daerah," kata dia. Namun, dari berbagai kalangan yang mengeritisi PP tersebut, beberapa di antaranya memberi saran agar pemerintah bersikap tegas terkait dengan PP 37/2006. Seperti dikatakan Kepala Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Dr Denny Indrayana, pemerintah harus bersikap tegas terhadap aksi protes sejumlah anggota DPRD dari berbagai daerah yang menolak revisi PP itu. "Pemerintah jangan lagi mau diperosokkan untuk membuat kebijakan yang anti kepentingan rakyat, dan terjebak pada kebijakan yang justru hanya menyelamatkan anggota DPRD yang telah melakukan delik pidana korupsi karena telah melanggar banyak peraturan perundangan ketika mereka mencairkan dana rapelan tunjangan itu," kata dia. Karena itu, kata Denny, pihaknya menyerukan kepada Presiden untuk bersikap tegas dan sesegera mungkin mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang mencabut PP 37/2006. Pada aturan peralihannya, menurut dia, harus sekaligus mengatur perihal pengembalian dana rapelan tunjangan komunikasi intensif yang terlanjur cair akibat PP tersebut. Ia juga mengingatkan, PP yang akan mencabut PP 37/2006 harus mempertahankan prinsip utama yaitu penyelamatan uang rakyat, dan bukan penyelamatan anggota DPRD yang terlanjur mengambil dana rapelan tunjangan itu. Kata dia, Presiden juga harus mengambil langkah tegas terhadap aktor yang berada di balik isu adanya `kudeta redaksional` pada PP 37/2006 terutama pasal 14 (d). Pasal ini mengatur tentang pemberlakuan surut PP tersebut. Dikatakannya pula, langkah itu hendaknya menjadi momentum penguatan pengawasan terhadap penyusunan suatu peraturan pemerintah. Denny juga menyerukan kepada seluruh komponen bangsa dibantu lembaga pengawas, kejaksaan dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) ikut mengontrol serta mengawasi pengembalian dana rapelan tunjangan tersebut. Masyarakat pun diminta segera melaporkan indikasi tindak pidana korupsi anggota DPRD yang menolak mengembalikan dana rapelan tunjangan yang telah mereka terima. Pertontonkan `Borok` Menyikapi kedatangan sejumlah anggota DPRD se-Indonesia ke Jakarta untuk memprotes pencabutan PP 37/2006, Denny mengatakan sikap itu semakin mempertontonkan `borok` mereka di depan rakyat. "Alih-alih membantu korban banjir di Jakarta, para anggota DPRD itu justru sibuk memikirkan bagaimana menebalkan kantong mereka sendiri dengan menolak mengembalikan rapelan tunjangan dana komunikasi intensif yang telah mereka terima," katanya. Menurut dia, sikap yang miskin empati bencana dari para anggota DPRD tersebut membantah alasan mereka sendiri yang menuduh pemerintah pusat telah mengambinghitamkan DPRD. Sikap proaktif DPRD untuk mempertahankan PP 37/2006 juga semakin menguatkan bukti bahwa PP itu lahir dari desakan mereka sendiri, yang kemudian diakomodir pemerintah pusat. Senada dengan penilaian tersebut, anggota Panitia Anggaran (Panggar) DPR RI asal Nusa Tenggara Barat (NTB) Mesir Suryadi sangat menyayangkan sikap dan tindakan para anggota DPRD se-Indonesia yang memprotes rencana revisi PP 37/2006. "Demo anggota DPRD itu merupakan tindakan yang tidak cerdas, dan justru dapat memicu rasa antipati masyarakat," katanya di Mataram. Ia mengatakan, aksi demonstrasi yang dilakukan seribuan anggota DPRD provinsi maupun kabupaten/kota se-Indonesia tersebut tidak akan menyelesaikan masalah, tetapi justru mengundang masyarakat untuk semakin melakukan perlawanan. Menurut dia, masih ada cara-cara yang lebih santun untuk mencapai tujuan. Namun, dengan mendatangi gedung DPR RI di Jakarta, dan aksi mereka diberitakan media massa, justru mengundang rasa antipati masyarakat secara luas. "Penolakan yang dilakukan masyarakat terhadap terbitnya PP 37/2006 harus dihargai, tidak malah dilawan dengan aksi demo mendatangi Ketua DPR RI Agung Laksono di Jakarta," katanya. Kata dia, sikap emosional para anggota DPRD itu justru dapat menimbulkan masalah baru yang menyebabkan kredibilitas para anggota dewan di daerah kurang mendapat simpati rakyat. "Tudingan bahwa anggota dewan di daerah jago memperjuangkan kepentingan dirinya sendiri, tetapi lemah dalam memperjuangkan nasib rakyat semakin tidak terbendung. Tudingan Ini sungguh kurang menguntungkan," kata Mesir Suryadi. Sementara itu, menanggapi kedatangan para anggota DPRD di gedung DPR RI di Jakarta yang memprotres revisi PP 37/2006, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) Hasyim Muzadi meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk tidak menggubrisnya. "Presiden sebaiknya tetap pada pendirian. Kalau dibiarkan (anggota DPRD), nanti `tuman` (menjadi kebiasaan). Wong gajinya sudah jauh di atas profesor, `kok` masih kurang," katanya. Hasyim kembali mengingatkan, jika para anggota DPRD itu mengotot ingin penghasilannya ditambah di tengah kondisi Indonesia yang tak putus dirundung bencana dan musibah, maka sikap tersebut akan memukul balik mereka sendiri. Ia mengatakan, sebelumnya dirinya telah mengingatkan kalangan anggota DPRD itu agar mengurungkan niatnya, apalagi sampai melakukan aksi unjukrasa, karena aksi tersebut sangat memalukan. "Rame-rame anggota DPRD `ngluruk` ke Jakarta untuk memprotes revisi PP 37/2006 dan menolak mengembalikan rapelan tunjangan merupakan fenomena sangat buruk bagi amanat perwakilan di negeri ini, dan itu merupakan tindakan tanpa malu yang memalukan," kata dia. Jika berpijak pada sisi hukum, menurut Hasyim, tindakan para anggota DPRD tersebut sah-sah saja. Persoalannya adalah rakyat tidak akan melihat masalah itu dari sudut hukum, melainkan dari sisi moral.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007