Boston (ANTARA News) - Beberapa anak negara miskin, mulai dari Brazil hingga Pakistan, bulan ini akan bersentuhan dengan dunia digital seperti membaca buku elektronik, merekam video digital, menciptakan lagu dan "chatting" dengan sesama rekan kelas secara "online". Proyek nirlaba "One Laptop per Child" yang didirikan oleh "Massachusetts Institute of Technology" bulan ini akan membagikan hampir 2500 komputer jinjing (laptop), masing-masing seharga 150 dolar (sekitar Rp1,4 juta) ke delapan negara. Ujicoba tersebut adalah awal untuk membuat produksi massal komputer "XO" mudah digunakan anak-anak. Produk massal komputer hijau muda dan putih tersebut dijadwalkan dimulai Juli tahun ini di mana akan dibuat 5 juta laptop. Keunggulan teknologi "XO" misalnya engkol tangan untuk pengganti baterai, papan ketik yang mengenal beberapa bahasa, kamera video digital, hubungan nirkabel serta perangkat lunak LINUX yang khusus dibuat untuk kawasan terpencil. Pelaksana proyek mengatakan harga untuk tahun depan dapat berkurang menjadi hanya 100 dolar tiap unit jika setiap tahun mereka dapat memproduksi 50 juta unit laptop. Setelah hal itu tercapai, harganya bahkan akan semakin turun hingga di bawah 100 dolar, jika target produksi menjadi 150 juta unit untuk anak-anak paling miskin sedunia. "Kami sedang usahakan agar harga selalu menjurus turun," kata Walter Bender, presiden piranti lunak dan content dari kelompok tersebut, kepada Reuters. "Daripada terus menambahkan kelengkapan dan membuat harga makin menggelembung, kami menjaga agar kelengkapannya stabil supaya harga menjurus turun." Enkol berupa gulungan tali yang ditarik, pada setiap satu menit tarikan menghasilkan 100 menit listrik laptop. Layar monitornya mampu berubah dari berwarna menjadi hitam putih saat berada di bawah sinar matahari, suatu kemampuan yang tidak dipunyai laptop yang harganya 10 kali lipat. Para pendidik di Brasil, Uruguay, Libya, Rwanda, Pakistan, dan Thailand serta kemungkinan Etiopia dan Tepi Barat akan menjadi penerima pertama pada Februari sebelum jumlah lebih besar diluncurkan untuk Indonesia dan beberapa negara lain. Kritik Namun, tidak semua orang menyambut baik laptop murah itu. Beberapa pihak meramalkan proyek itu akan menjadi beban keuangan di negara miskin dan tanpa jaminan keberhasilan. Pengeritik lain mengatakan dana yang ada lebih baik digunakan untuk membiayai makanan, obat, perpustakaan dan sekolah. Beberapa pejabat Afrika bertanya apakah laptop itu cocok untuk pendidikan anak di luar Amerika Serikat dan lainnya mengkhawatirkan laptop itu akhirnya dijual ke pasar gelap oleh keluarga maupun masyarakat yang kesulitan uang. "Soal teknologinya, saya pikir ini proyek menakjubkan," kata Wayan Vota, (http://olpcnews.com/ yang mengamati proyek itu "Yang jadi pikiran buat saya, pelaksanaannya akan membawa dampak sosial dan ekonomi. Pada hakekatnya, negara berkembang -- atau negara yang sudah punya banyak utang, harus meminjam lebih banyak lagi, atau menggunakan sumberdaya yang sudah terbatas, untuk membeli laptop itu lalu menggunakannya tanpa pernah ada ujicoba dalam skala besar." Vota yang juga direktur Geekcorps, lembaga nirlaba yang mempromosikan teknologi komunikasi di negara berkembang, membandingkan biaya untuk proyek tersebut di negara miskin. "Jika satu laptop disediakan untuk setiap anak di Nigeria, itu berarti 73 persen anggaran negara itu habis untuk laptop," katanya. "Sebagian pendidik juga akan mengganggap laptop itu musuh, karena komputer itu dirancang agar murid berani mencoba sendiri semua hal, mulai dari musik, membuat video bahkan membuat program komputer sendiri," kata Ethan Zuckerman dari "Berkman Center for Internet and Society" di Harvard. "Beberapa guru akan antusias membiarkan para murid bereksperimen dan mencoba semua kemampuan laptop, tapi banyak juga guru yang beranggapan pendidikan berarti hafalan dan pendiktean," katanya. Vota dan Zuckerman memuji proyek "One Laptop Per Child" untuk kepeloporan pembaharuan termasuk temuan bahwa listrik laptop hanya perlu dua watt, bandingkan dengan laptop sekarang yang perlu 30 hingga 40 watt. Mereka juga memuji langkah baru untuk meniadakan "hard drive" dan menggantinya dengan "flash memory" serta empat "colokan" USB untuk menambahkan berbagai alat lain. Sekelompok laptop bisa saling berkomunikasi tanpa perlu Internet, dengan menggunakan jaringan "mata jala" di mana anak-anak itu bisa bertukar gambar dan bekerjasama membuat suatu pekerjaan. Laptop itu juga dilengkapi "music sequencer" dengan digital instrumen sehingga anak bisa memainkan dan menciptakan lagu. Bender mengatakan laptop itu bisa di"shutdown" dari jarak jauh untuk menghindari dijual ke pasar gelap, meski Vota mengatakan para "hacker" akan memecahkan kode tersebut. "Orang dengan penghasilan satu dolar sehari akan sangat tergoda untuk menjual laptop itu dengan harga 300 dolar," katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2007