Keistimewaan masakan Jepang adalah bahan-bahannya tersedia sesuai musim."
Yusuke Shindo, diplomat karir yang pernah bertugas sebagai wakil duta besar Jepang untuk Indonesia, menulis tentang bangsanya lewat buku "Mengenal Jepang".
Buku dari Penerbit Buku Kompas 2015 itu juga menjadi persembahan Yusuke Shindo yang mengakhiri tugas di Indonesia untuk menempati pos baru di Eropa.
Soal Jepang adalah bangsa yang tertutup, Shindo, menulisnya dengan diplomasi yang luwes.
Dia menyebut bahwa orang Jepang berasal dari kepulauan kecil dikelilingi lautan sehingga memandang sesuatu dari luar negeri adalah baik. Mereka bisa menerima sesuatu dari luar negeri setelah dengan hati-hati mencerna dan menyesuaikannya dengan nilai-nilai tradisi, misalnya dalam pemakaian aksara, Jepang menggunakan aksara Tiongkok (Kanji) yang kemudian dipakai bersama-sama dengan aksara yang dikembangkan sendiri yaitu hiragana dan katakana.
Kebanggaan atas bahasa sendiri membuat para pendidik di Jepang cenderung menyediakan sendiri buku-buku pelajaran dalam bahasa Jepang dan memakai terminologi bahasa setempat sehingga pemakaian buku pelajaran dalam bahasa Inggris hampir tidak ada.
Motivasi orang untuk belajar bahasa Inggris adalah rendah karena dalam bidang usaha, orientasi pasar juga tertuju pada konsumen di dalam negeri, sehingga memang banyak orang Jepang yang tidak berbicara dalam bahasa Inggris dan bila memakainya juga banyak melakukan kesalahan yang tidak masuk akan atau bisa membuat orang menertawakannya.
Dalam percakapan berbahasa Inggris, apabila orang Jepang mendapat pilihan tawaran minuman kopi atau teh, menurut buku itu jawabannya bisa berbunyi "I am coffee" (saya adalah kopi) atau "I am tea".
Pada kenyataannya mereka tidak sedang bercanda. Orang terpelajar pun bisa saja berbicara seperti itu dengan mimik muka serius (halaman 9).
Orang-orang Jepang punya nilai bersikap rendah hati dan tidak menonjolkan diri adalah terpuji. Orang Jepang tidak akan memperlihatkan raut muka gembira meluap-luap atau menepuk dada ketika menerima pujian.
Membaca buku "Mengenal Jepang" juga bisa membuat pembaca ikut merasakan suasana dan keindahan negeri di Asia yang memiliki empat musim dengan gambaran keelokan alam, gejala alam dan budaya yang menyertainya.
Terdapat kutipan puisi yang dibacakan oleh sastrawan Jepang peraih hadiah Nobel, Yasunari Kawabata ketika berpidato menerima anugerah tersebut: Musim semi adalah bunga sakura, musim panas adalah burung hototogisu, musim gugur adalah bulan dan musim salju adalah salju, putih (bersih) dan dingin.
Orang Jepang memandang perubahan musim sebagai waktu yang berlalu, pengulangan masa lalu dan harapan terhadap masa depan.
Orang Jepang diperkenalkan sebagai pecinta alam, tercermin pada penghargaan mereka terhadap bunga sakura yang mekar pada musim semi, sebagai penanda berakhirnya musim dingin yang berat.
Tak kalah dengan keelokan bunga sakura, orang Jepang juga mengagumi daun musim gugur (momiji) yang berwarna kuning dan merah, nyanyian serangga dan kicau burung pada musim panas.
Perubahan musim juga memperkaya seni makan di Jepang, bangsa yang sangat menghargai anugerah alam berupa bahan-bahan makanan yang tersedia dengan puncak kelezatan dan berlimpah pada musimnya.
"Keistimewaan masakan Jepang adalah bahan-bahannya tersedia sesuai musim."
Berbicara mengenai musim, sayur, buah bahkan jenis ikan yang bisa dipanen pada saat puncak panen seiring musim (hal.44)
Shindo mengingatkan pula cerita yang sudah sering terdengar, bahwa ubi kentang adalah tanaman yang asalnya diperoleh Jepang dari Indonesia sekitar 400 tahun yang lalu. Kentang dalam bahasa Jepang disebut "jagaimo" atau "Jakarta kara kita imo" (Ubi yang datang dari Jakarta).
Bagi orang Jepang, menyajikan makanan dengan indah ditandai dengan pilihan peralatan sesuai musim untuk memanjakan penglihatan, sedangkan untuk menyantapnya, masakan Jepang selalu terhidang dalam potongan-potongan kecil sekali suap.
Penulis yang sudah menjadi diplomat sejak berusia 22 tahun setamat dari fakultas ekonomi di universitas Tokyo dan pernah bertugas di Arab Saudi, Jerman, Amerika Serikat dan Indonesia itu, paham betul cara-cara memperkenalkan Jepang.
Memikirkan uang adalah hina
Mungkin agak ganjil dan mengejutkan bagi mereka yang belum memahami budaya Jepang, ketika mendengar pola pikir orang Jepang tentang uang yang dianggap sebagai barang hina dan kotor. Uang dianggap "kotor" karena berpindah tangan ke banyak orang.
Pemahaman seperti itu membuat bangsa Jepang menghargai orang lain bukan karena uang dan tidak dengan uang, malahan lebih hati-hati ketika menyerahkan uang yaitu dengan membungkusnya (dalam amplop) dan tidak menghitung uang di depan orang lain kecuali untuk bertransaksi dagang.
Samurai adalah kelas masyarakat yang tinggi dan dihormati meskipun seringkali tidak memiliki banyak uang, kelas berikutnya adalah petani dan para tukang yang memproduksi barang.
Kelompok pedagang adalah orang yang paling banyak memegang uang, tetapi kelas sosialnya paling rendah dan dianggap hina.
Melalui buku ini pembaca seolah bisa mengenal lebih dekat, seperti apa orang Jepang yang jarang menampakkan perubahan raut wajah itu sebenarnya? Pada masa perang tentara Jepang dikenal beringas, lalu sejatinya seperti apa mereka yang cinta alam, cinta hewan, menghargai sesama dan dikenal panjang umur?
Yusuke Shindo lahir di Osaka pada 1 Maret 1964 mendapat tugas pertama di Indonesia sebagai pejabat minister bagian Kebudayaan dan Informasi kemudian menjadi wakil Dubes, sebelumnya telah menerbitkan tiga buku yaitu "Apakah isu lingkungan global", "Mimpi-mimpi orang Afgan tentang Perdamaian di Negara Mereka" dan "Kebangkitan Taliban".
Oleh Maria D Andriana
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015