"Indonesia telah dan akan mengambil kepemimpinan dan inisiatif agar negara-negara yang mengklaim tidak melakukan eskalasi militer," kata Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Kemenko Bidang Kemaritiman Arif Havas Oegroseno di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Jumat.
Di sela "National Seminar On Maritime Legacy": Rejuvenating Indonesian Maritime Legacy: Sea, Security and Sustainability", Havas mengatakan upaya terus mengawal penyelesaian konflik Laut Tiongkok Selatan itu antara lain diwujudkan dengan menugaskan delegasi untuk menghadiri sidang awal di Mahkamah Permanen Arbitrase di Den Haag, Belanda pada Selasa (24/11) yang mengadili gugatan Filipina terhadap Tiongkok atas Laut Tiongkok Selatan.
"Kita mengikuti (sidang arbitrase) karena Indonesia selalu mengedepankan perdamaian dan penghormatan hukum internasional," kata dia.
Meski Indonesia ikut terlibat dalam menengahi konflik tersebut, Havas menegaskan Indonesia tidak memiliki kepentingan apapun terhadap klaim wilayah di Laut Tiongkok Selatan serta tidak memiliki kekhawatiran akan adanya potensi klaim Tiongkok yang akan merembet ke Pulauan Natuna.
Konflik Laut Tiongkok Selatan, menurut Havas tidak terlepas dari perebutan empat gugusan pulau utama yakni Pulau Paracels, Pulau Pratas, Spratly, serta Macclesfield Bank. Sementara Indonesia tidak memiliki kepentingan untuk andil di dalamnya.
"Indonesia tidak mengklaim di situ dan tidak ada klaim terhadap kepulauan Natuna oleh Tiongkok," kata Arif Havas.
Sementara itu, pengamat hukum laut internasional Hasjim Djalal mengatakan klaim Laut Tiongkok Selatan itu memang sudah terjadi cukup lama. Akan tetapi Hasyim menilai objek klaim yang dituju Tiongkok tidak jelas, apakah laut atau sumber daya di dalamnya.
"Apa yang dicari tidak jelas, dulu memang diduga ada migas di dalamnya, tapi belakangan setelah dilakukan penelitian (migas) tidak terlalu banyak," kata mantan Duta Besar Keliling RI Bidang Hukum Laut 1994-2000 itu.
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015