"Presiden sudah menegaskan harus ada smelter dan perbaikan royalti tapi sayangnya masih ada pejabat dengan mental masih bisa dilobi tanpa mengevaluasi terlebih dahulu," kata Rizal dalam kuliah umum di Palembang, Jumat.
Menurut dia, model seperti inilah yang membuat Indonesia kembali terjebak pada situasi yang sama yakni menjadi bangsa yang mudah diakali pihak asing.
"Ini yang harus diubah, seharusnya sejarah masa lalu ditulis dan dibaca ulang agar para pejabat ini menjadi ingat," kata dia.
Jika bangsa ini tidak mau berubah, katanya, maka akan kembali masuk dalam jurang yang sama yakni kehilangan kesempatan emas yang diberikan Tuhan atas sumber daya alam yang melimpah untuk menyejahterakan rakyat.
Pertama, saat awal pemerintahan Orde Baru yakni ketika dianugerahi hutan yang luas dan hijau negara tidak menggunakannya dengan baik dan tidak memikirkan keberlangsungan kelestariannya agar pohon yang ditebang kemudian bisa ditanam kembali dan menghasilkan lagi.
Kedua, ketika Indonesia mulai menjajal energi minyak bumi justru lupa untuk membangun dan memperbanyak kilang sendiri.
Lalu yang ketiga terhadap sumber daya laut, yakni membiarkan begitu saja pencurian ikan sehingga para nelayan tetap hidup miskin, contohnya di Maluku.
Kemudian, kesempatan emas keempat yang hilang yakni kecerobohan dalam mengolah sumber daya mineral. Negara memberikan ke asing selama puluhan tahun, sementara hanya mendapatkan secuil keuntungan.
Begitu juga dengan kesempatan kelima yakni terhadap pengelolaan gas yang menjual jor-joran ke luar negeri dengan harga yang sangat murah.
Berkaca dari kesalahan ini, Rizal mengharapkan para pengambil kebijakan untuk belajar dari kesalahan masa lalu karena jika tidak maka bangsa ini cenderung jalan di tempat bahkan tertinggal dari negara lain.
"Pada era tahun 70-an, Indonesia lebih maju dari Qatar, bisa dikatakan negara itu masih naik unta. Tapi lihat kini, mereka sudah menjadi negara kaya karena cerdas dalam menggunakan energinya," kata dia.
Pewarta: Dolly Rosana
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015