Jakarta (ANTARA News) - Rakyat Peduli Maluku melakukan aksi demonstrasi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jakarta, menuntut penyidikan atas kasus dugaan korupsi dana pengungsi Maluku senilai Rp180 miliar. Demonstrasi dilakukan sekitar 50 pengungsi di kantor KPK Jakarta Pusat, Rabu, dengan mengusung spanduk bertuliskan `Kemana Hilangnya Dana Bansos Maluku, Usut Tuntas Bansos Maluku dan Gabernur Sadis, Rakyat Meringis. M Taufik, salah seorang demonstran menyatakan terpaksa menggelar demonstrasi karena banyak pengungsi Maluku dalam kondisi memprihatinkan, dana bantuan sosial yang seharusnya bisa membantu pengungsi ternyata tidak disalurkan sebagaimana semestinya. Sekitar Rp180 miliar dana pengungsi yang diduga dikorupsi oleh Pemda Maluku, akibatnya puluhan ribu pengungsi Maluku terlunta-lunta. Taufik mencontohkan korupsi tidak sekedar memotong bantuan tempat tinggal tetapi sampai uang lauk pauk senilai Rp15 miliar yang tidak disalurkan. Dana bantuan lauk paukpun tidak disalurkan, jadi bisa dibayangkan kondisi pengungsi sangat memprihatinkan. Menurut dia, mencuatnya kasus dugaan korupsi dana pengungsi Maluku sebenarnya sudah ditangani Kejaksaan Tinggi Maluku, namun Kejati Maluku kemudian mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan (SP3) tanpa alasan yang jelas. Setelah tidak mengalami perkembangan penyidikan di Kejati Maluku, kasus lalu diambilalih Polda Maluku, namun Polda Maluku juga tidak bisa berbuat banyak. Taufik mengungkapkan keheranannya dengan mandegnya penanganan kasus korupsi dana pengungsi tersebut. Pasalnya dari audit BPK, indikasi korupsi sangat kuat. Dia menilai, mandegnya penyidikan di tingkat daerah, karena kuatnya intervensi kekuasaan daerah mengingat kasus tersebut menyeret Gubernur Maluku. "Untuk menghindari intervensi kekuasaan, harusnya KPK mengambilalih kasus ini," katanya dan berharap KPK tidak segan untuk mengambilalih kasus tersebut meski sebelumnya sudah ditangani Kejati dan Polda Maluku. Jika tidak tertangani, nasib pengungsi Maluku yang mencapai ribuan orang akan semakin menderita, tambahnya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007