Mengingat preseden semacam ini tidak hanya merugikan operasi polisi namun juga membahayakan hidup sandera, maka normal media mengambil keputusan ini

Brussels (ANTARA News) - Banyak yang kaget ketika polisi Belgia menggelar razia antiteroris besar-besaran, media massa negeri ini malah bungkam, sedangkan Twitter justru dibanjir foto-foto kucing.

Ini terjadi setelah polisi meminta media massa tidak menyiarkan operasi penggerebekan sehingga detail operasi tidak terekspos ke publik. Namun ini memicu debat soal kebebasan berbicara dan tanggung jawab pers.

"Yang sangat mencengangkan imbauan ini sangat efektif," kata Marc Lits, profesor pada Fakultas Jurnalisme Louvain di Belgia kepada AFP.

Media massa dan media sosial hiruk pikuk dengan berita selama berhari-hari setelah Belgia memasang peringatan teror tingkat tinggi di Brussels bahwa kota ini terancam mengalami serangan teror serupa dengan Paris 13 November lalu yang menewaskan 130 orang.

Namun ketika begitu foto-foto polisi yang lagi melakukan razia teroris muncul di Twitter Minggu malam lalu, pihak berwajib diam-diam menghubungi media untuk tidak menyiarkan penggerebakan itu.

"Polisi meminta masyarakat tidak menyiarkan gerakan-gerakan polisi di media sosial, tolonglah bantu & rt #BrusselsLockdown," cuit Menteri Pertahanan Steven Vandeput.

Polisi Brussels mengatakan langkah ini demi alasan keamanan semata, "Mari hormati diam di media sosial mengenai operasi-operasi polisi yang tengah berlangsung di Brussels. Terima kasih."

Tagar #BrusselsLockdown dengan cepat menyebar bagaikan gaya hidup di mana ribuan orang mencuit foto-foto kucing dalam berbagai pose.

Tapi yang lebih mengagetkan adalah imbauan polisi ini juga dituruti televisi-televisi dan laman-laman surat kabar yang sebelumnya dahaga melaporkan perkembangan kasus ini.

"Mengingat preseden semacam ini tidak hanya merugikan operasi polisi namun juga membahayakan hidup sandera, maka normal media mengambil keputusan ini," kata Alain Gerlache, wartawan spesialis media sosial dan mantan juru bicara eks perdana menteri Guy Verhofstadt.

Stasiun penyiaran Belgia berbahasa Prancis, RTBF, membantah ada sensor, melainkan itu terjadi karena kesadaran sendiri media massa Belgia.

"Yang harus kita terima adalah pembatasan tertentu, agak menahan diri dari peristiwa-peristiwa itu, namun wartawan-wartawan kami akan terus berada di lokasi untuk memberi kami informasi. Sensor tak ada di Belgia," kata produser eksekutif Jean-Pierre Jacquemin.

Harian Le Soir menerima dua panggilan telepon dari sel krisis Perdana Menteri Charles Michel yang meminta mereka untuk berhenti memberikan "informasi yang terlalu rinci", kata editor Christian Berti dalam laman koran ini.

Para pakar mengatakan lanskap media Belgia yang tidak kompetitif dan tidak punya saluran 24 jam berita, membantu efektivitas imbauan polisi itu. "Belgia bukan belantara (media) seperti di Prancis."

Para pakar takjub pada kedewasaan para pengguna media sosial di Belgia, khususnya Twitter, padahal negeri ini sangat menjunjung kebebasan berbicara dan menentang keras sensor.

Alain Gerlache memuji baik media massa maupun pengguna media sosial di Belgia sangat bisa mengontrol emosi sehingga kendati Brussels dalam siaga teror tingkat tinggi, tak terlihat ada kepanikan di kota ini, demikian AFP.

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015