Menteri Pendidikan yang sebelumnya, sudah melarang adanya tes calistung ketika masuk SD, tapi karena otonomi yang terjadi pada saat ini melahirkan `raja-raja kecil` dengan kebijakan yang berbeda pula."

Jakarta (ANTARA News) -Baca, tulis, dan berhitung (calistung) yang diajarkan terlalu dini menurut para ahli dapat merusak tatanan otak anak.

Pakar tumbuh kembang anak dari Universitas Airlangga DR Dr Ahmad Suryawan SpA(K) mengingatkan para orang tua untuk tidak mengajarkan calistung sebelum sang anak masuk ke Sekolah Dasar (SD) atau berumur tujuh tahun.

"Mengajarkan anak calistung sebelum waktunya dapat merusak tatanan otak anak, dalam artian anak dalam mengerjakan sesuatu tidak runtut atau selaras," ujar Ketua Divisi Tumbuh Kembang Anak dan Remaja, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, tersebut pada acara peluncuran MoriCare+Prodiges di Jakarta, akhir pekan lalu.

Seharusnya anak yang berumur di bawah tujuh tahun bisa membentuk garis lurus, menggaris, membentuk gambar bangun sederhana dan sebagainya.

Sayangnya, pada masyarakat modern saat ini, anak belum tentu bisa menggambar garis lurus malah belajar menghitung, kata Wawan, nama panggilan DR Dr Ahmad Suryawan SpA(K).

"Anak memang bisa pintar karena bisa calistung sejak dini, tapi perilakunya tidak runtut dalam menyelesaikan suatu persoalan. Hal itu karena sirkuit di otaknya tidak by order. Anak tidak mengerti urutan," jelas dia.

Juga terdapat dua kemungkinan bagi anak yang sudah dikenalkan calistung sejak dini, katanya. Pertama, bisa calistung karena mengerti caranya dan kedua, anak tersebut bisa karena menghapalkan caranya.

"Misal anak itu tahu kalau empat dikali empat sama dengan 16, maka hal itu bisa terjadi karena dia tahu caranya kalau 16 itu didapat dari empat sebanyak empat kali atau karena anak tersebut hapal kalau empat kali empat tersebut 16," papar kata lelaki itu, yang disapa Wawan.

"Calistung boleh dikenalkan pada anak usia PAUD, tapi tidak boleh jadi evaluasi prestasi," cetus dia.

Pengenalan Calistung
Program yang tepat pada anak usia PAUD adalah melalui pengenalan calistung, namun hal itu bukan berarti anak belajar calistung sepenuhnya.

Anak mengenal calistung melalui interaksi dan cara menyenangkan, bukan duduk manis mendengarkan guru mengajar. Contohnya ialah ada sepuluh anak, namun gelas yang ada hanya delapan, dengan demikian otomatis dua anak tidak mendapatkan gelas.

Wawan menerangkan sebelum anak memegang pensil, maka anak harus belajar mencapit, setelah tangan anak tersebut kuat baru diberikan pensil yang ukurannya besar.

"Anak belajar ngomongnya juga seperti itu mulai mama, mama pergi, baru kemudian mama, ayo pergi. Jadi tahap demi tahap. Orang tua kita zaman dulu juga mendidik kita sangat demokratis dan sistematis. Orang tua sekarang, anak tidak bisa membaca saja marahnya seperti mau kiamat, padahal untuk membuat bayi tersenyum saja butuh berapa bulan kita seperti orang gila, baru kemudian bayi tersenyum," sindirnya.

Dia menyatakan ada yang salah dengan sistem pendidikan di Tanah Air, yang mensyaratkan calistung sebelum masuk SD. Hal itu juga membuat para orang tua khawatir dan memasukkan anak ke les calistung sebelum anak tersebut masuk ke sekolah dasar.

"Menteri Pendidikan yang sebelumnya, sudah melarang adanya tes calistung ketika masuk SD, tapi karena otonomi yang terjadi pada saat ini melahirkan raja-raja kecil dengan kebijakan yang berbeda pula."

Wawan menghimbau kepala daerah untuk peduli pada tumbuh kembang anak, yang merupakan generasi penerus bangsa.

Kualitas tumbuh kembang jangka panjang seorang anak ditentukan oleh keseimbangan faktor resiko dan faktor protektif sejak usia janin di dalam kandungan hingga usia 18 tahun

Sementara itu Psikolog anak Dr Rose Mini mengatakan anak usia PAUD seharusnya hanya bermain, karena dengan bermain anak bisa merasa senang.

"Aktivitas bermain juga yang tanpa beban. Orang tua jangan memaksa anak bermain sesuatu dengan harapan anak tersebut tambah pintar," kata psikolog tersebut, yang akrab disapa Bunda Romi.

Oleh Indriani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015