Dengan adanya perkembangan baru yang akan diumumkan IMF pada 30 November mendatang, Indonesia perlu melakukan kajian, mempelajari, mendalami dan menjiwainya untuk menggunakan mata uang tersebut dalam transaksi bisnis."
Kuala Lumpur (ANTARA News) - Menteri Perdagangan Thomas Lembong mengungkapkan bahwa IMF akan mengumumkan mata uang Tiongkok, renminbi, sebagai mata uang kelima di dunia setelah dolar AS, euro, pounsterling dan yen, sehingga perlu dikaji.
"Dengan adanya perkembangan baru yang akan diumumkan IMF pada 30 November mendatang, Indonesia perlu melakukan kajian, mempelajari, mendalami dan menjiwainya untuk menggunakan mata uang tersebut dalam transaksi bisnis," ucapnya kepada media massa usai mengikuti persidangan ASEAN Summit di Kuala Lumpur, Jumat.
Menurut dia, perkembangan baru yang sangat dahsyat ini yang harus ditanggapi.
Dalam persidangan G-20 di Turki beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo menekankan mengenai pentingnya bergeser dari dolar AS ke mata uang renminbi.
Dijelaskannya, ada banyak alasan mengenai penggunaan mata uang tersebut sejalan dengan semakin berkurangnya ketersediaan dolar AS.
"Sekarang ini, dolar sedang pulang kampung sejalan dengan membaiknya perekonomian Amerika Serikat," kata Mendag.
Bagi Indonesia, lanjut dia, makna pengalihan dari dolar AS ke remimbi merupakan isu fenomenal karena setiap tahun neraca perdagangan kedua negara cukup besar.
Nilai impor Indonesia dari Tiongkok mencapai 30 miliar dolar AS, sedangkan ekspor ke negara tersebut hanya 16 miliar dolar AS sehingga terjadi defisit sebesar 14 miliar dolar AS.
Oleh karenanya, perlu ada kerja sama antar bank sentral Indonesia dan Tiongkok agar ada likuitas renminbi yang berlimpah sehingga tidak susah mencari mata uang tersebut di perbankan seperti BNI, BRI, Mandiri dan lainnya.
Disebutkannya, Indonesia masih menggunakan mata uang dolar AS dalam perdagangannya dengan Tiongkok, sedangkan sejumlah negara seperti Malaysia sudah beberapa persen transaksi menggunakan renminbi.
"Malaysia sudah menggunakan transaksi pakai renminbi sekitar 3-5 persen, sedangkan di beberapa negara lainnya bahkan mencapai 10 persen," kata Thomas.
Untuk itu, perlu sosialisasi dan sebagai percontohannya dilaksanakan di Jakarta mengingat aktivitas bisnis dengan negara tersebut banyak dilakukan di ibukota negara.
"Kita bisa memulainya di Jakarta, karena aktivitas importir banyak dilaksanakan di sini dan selanjutnya bisa diikuti oleh daerah," ucapnya.
Pewarta: N. Aulia Badar
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015