Cibinong (ANTARA News) - Di kawasan Puncak, Bogor, Jabar, banyak berdiri bangunan permanen, khususnya vila, yang ilegal, karena tidak memiliki izin pendirian bangunan secara lengkap. Hal ini diakui Kepala Dinas Tata Ruang dan Lingkungan (Distarling) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor, Mas`an Djadjuli. Namun, ia tidak bisa menyebutkan jumlahnya secara rinci dan enggan menyebutkan vila-vila itu milik siapa saja. "Munculnya bangunan vila ilegal itu akibat ketatnya perizinan yang diterbitkan oleh Pemkab Bogor," katanya kepada ANTARA di Cibinong, Selasa. Ia menjelaskan pemberian izin peruntukan penggunaan tanah (IPPT) yang diterbitkan oleh Distarling untuk bangunan permanen khususnya vila, kawasan Puncak, sangat selektif dan ketat. Hal itu dilakukan berdasarkan Perda No. 17 Tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) di kawasan Puncak KBD (koefisien dasar bangunan-red)-nya hanya dua persen dan yang terbesar hanya lima persen. "Bahkan di wilayah konservasi yang lahannya sangat lereng, sama sekali tidak boleh didirikan bangunan, karena untuk kawasan hutan lindung," katanya. Menurut dia, perizinan yang harus dimiliki pemohon, setelah IPPT-nya terbit, kemudian diterbitkan "siteplane". Kalau lahan yang dimohon tidak besar, tidak perlu IPPT, tapi UKL/UPL. Setelah itu, masih diteruskan dengan permohonan izin mendirikan bangunan (IMB) dari Dinas Cipta Karya (DCK). Namun, dalam prakteknya, banyak pemilik lahan dan pemilik vila yang "nakal" tetap membangun vila dengan KDB yang lebih besar dari ketentuan, meskipun belum mengurus perizinan secara lengkap. Bahkan, ada pemilik vila yang sudah membangun vila dengan KDB yang lebih besar baru kemudian mengurus IPPT dan IMB-nya. Terhadap bangunan vila seperti ini, menurut dia, berdasarkan aturan yang berlaku tidak dibenarkan. "Kalau pemilik vila itu mau mengajukan permohonan IPPT, maka bangunan vilanya harus dibongkar dulu. Distarling akan melakukan kajian, apakah di lokasi itu bisa dibangun vila dan berapa KDB-nya," katanya. Prakteknya, banyak pemilik vila yang "nakal" seperti itu tidak mau membongkar bangunan vilanya. Ada juga pemilik bangunan vila yang memaksa Pemkab Bogor menerbitkan perizinannya. Ketika ditanya siapa orang yang memaksa minta diterbitkan perizinannya, apakah petinggi di pemerintah pusat, Mas`an Djadjuli tidak berani menjelaskan lebih lanjut. Ia juga tidak bersedia menjelaskan bagaimana bentuk pemaksaannya. "Sudahlah, tidak perlu menanyakan hal itu," katanya. Menjawab pertanyaan apakah ada pemohon izin untuk bangunan vila yang menyediakan sejumlah uang agar diterbitkan izinnnya, ia mengatakan tidak tahu. Sedangkan saat ditanya, apakah ada IPPT untuk bangunan vila yang diterbitkan tapi tidak sesuai peruntukannya, ia menjelaskan selama ia menduduki jabatan Kepala Distarling sejak Agustus 2006, belum ada penerbitan IPPT yang tidak sesuai dengan peruntukannya. "Saya tidak tahu kalau pada masa pejabat sebelum saya. Kalau saya, tetap mengikuti aturan yang berlaku," katanya. Menurut dia, berdasarkan aturan yang ada, bangunan vila yang sudah dibangun lebih dulu baru mengajukan permohonan IPPT dan IMB atau bangunan vila yang KDBnya lebih besar daripada KDB di kawasan puncak, harus dibongkar dulu. Untuk pelaksanaan pembongkaran, diserahkan pada Dinas Polisi Pamong Praja (Pol PP). "Bagaimana efektivitasnya saya tidak tahu, silakan tanya pada Dinas Pol PP," katanya. Selama empat tahun terakhir pemohon IPPT untuk bangunan permanen khusunya vila, menurut dia, tidak terlalu banyak. Tak terpantau Berdasarkan data Distarling, pemohon IPPT untuk bangunan perumahan, pertokoan, usaha, dan perdagangan, pada 2003 sebanyak 440 pemohon untuk lahan seluas 1.243,9 meter persegi. Pada 2004, sebanyak 436 pemohon untuk lahan seluas 1.743,5 meter persegi. Pada 2005, sebanyak 461 untuk lahan seluas 2.532,0 meter persegi. Kemudian pada 2006, sebanyak 374 pemohon untuk lahan seluas 1.350,0 meter persegi. "Namun prakteknya, perkembangan bangunan permanen, khususnya vila ilegal, ada berapa banyak, itu tidak termonitor," katanya. Ia mengatakan dalam penanganan lingkungan, khususnya kawasan Bogor, Puncak dan Cianjur (Bopunjur), sudah diatur melalui Keppres No. 114 tahun 1999, tetapi pada kenyataannya belum bisa diawasi secara efektif oleh Pemkab Bogor. Diakuinya bahwa banyaknya bangunan permanen di kawasan Puncak, menjadi salah satu penyebab bencana alam banjir dan tanah longsor di Jakarta dan Bogor. Penyebab lainnya, menurut dia, adalah lahan lahan kritis di kawasan hulu, terutama di kawasan hulu sungai. (*)
Copyright © ANTARA 2007