"Jika anggaran bansos membengkak jelang pilkada, maka yang paling bertanggung jawab adalah gubernur dan Mendagri karena gagal melaksanakan fungsi evaluasi RAPBD," kata Lutfhi di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin.
Dia mengatakan, eraturan Mendagri No 39 /2012 yang menegaskan bahwa tidak ada keharusan sebuah daerah menganggarkan dan bansos atau dana hibah.
Luthfi juga mengatakan UU No.23/2014 menegaskan daerah boleh menganggarkan dana bansos atau hibah jika anggaran untuk urusan wajib sudah mencukupi.
Lebih lanjut Luthfi mengingatkan bansos kepada sebuah lembaga tidak boleh berulang. Anggaran bansos dalam APBD harus kian mengecil.
"Jadi, jika anggaran bansos tidak sesuai dengan hal di atas maka gubernur selaku wakil pemerintah pusat, demikian pula Mendagri, gagal melaksanakan fungsi evaluasi dan kontrol atas RAPBD. Bukankah sebelum ditetapkan menjadi APBD, RAPBD dievaluasi oleh gubernur untuk RAPBD Kab/kota dan oleh Mendagri untuk RAPBD Prov," kata Luthfi.
Menurut Luthfi, pengalaman menunjukkan bahwa kasus bansos selalu merupakan korupsi berjamaah, artinya merupakan buah dari persekongkolan jahat antara eksekutif dan legislatif
"Jika UU No.22 /1999 menetapkan bahwa perda bersifat represif. Yakni langsung berlaku begitu ditetapkan. Evaluasi dilakukan sambil berjalan. UU penggantinya (UU No.32 th 2004 dan UU.No.23 th 2014 yang diubah menjadi UU No.9 /2015) menetapkan bahwa perda bersifat prefentif. Maka semua perda baru berlaku setelah mendapat persetujuan pejabat yang berwewenang yaitu gubernur untuk perda kabupaten/kota dan Mendagri untuk perda kabupaten/kota)," kata Luthfi.
Pewarta: Zul Sikumbang
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015