Washington (ANTARA News) - Gedung Putih, Kamis (Jumat WIB), mengatakan perubahan konstitusi sangat dibutuhkan di Myanmar untuk mewujudkan demokrasi setelah pelaksanaan pemilu yang dipandang sebagai lompatan menuju demokrasi penuh di negara tersebut.
Setelah Presiden Barack Obama mengucapkan selamat kepada pemimpin prodemokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi atas kesuksesannya memperoleh suara yang akan menempatkan partainya di puncak kekuasaan, Gedung Putih menyebutkan langkah-langkah yang diperlukan.
"Selama beberapa tahun terakhir kami telah mengatakan bahwa transisi penuh menuju pemerintahan demokratis sipil di Myanmar akan membutuhkan proses reformasi konstitusional," kata pembantu kebijakan luar negeri Obama, Ben Rhodes seperti dikutip AFP.
"Meskipun dengan pemilu ini, 25 persen kursi di parlemen tetap diperuntukkan untuk militer. Dan harus ada amandemen tentang prosedur yang melarang Aung San Suu Kyi memangku jabatan presiden," ujarnya.
Ke depannya, kata dia, ini adalah pertanyaan besar yang harus dijawab oleh para pemimpin dan rakyat Myanmar.
Perjalanan Suu Kyi meraih kekuasaan terhalang oleh konstitusi tahun 2008 yang melarang siapa pun yang memiliki anak atau suami berkewarganegaraan asing, menjadi presiden.
Kedua putra Suu Kyi berkewarganegaraan Inggris, begitu pula mendiang suaminya.
Konstitusi tersebut dipandang luas sebagai upaya militer Myanmar untuk mencegah Suu Kyi menjadi presiden.
Setelah proses pendudukan parlemen dan penunjukan presiden, kata Rhodes, parlemen baru dan para pemimpin Myanmar harus membuat keputusan terkait reformasi dan konstitusi.
"Saya rasa Aung San Suu Kyi yang menempati posisi kuat sebagai pemimpin NLD (Liga Nasional untuk Demokrasi) akan menjadi pelopor untuk menentukan arah masa depan negara," tuturnya.
(Y013/A032)
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015