London (ANTARA News) - Mantan Menlu RI Hassan Wirajuda menilai proses membangun komunitas di kawasan Asia Timur kurang memberikan perhatian pada isu politik dan keamanan, akibatnya berbagai konflik di Laut Tiongkok Selatan (LTS) belum dapat diatasai.
Penilaian itu disampaikan Dr Hassan Wirajuda pada konferensi "The Asian Paradox: Rising Wealth, Lingering Tension" yang diselenggarakan Friends of Europe, di Brusel, demikian Counsellor KBRI Brusel Riaz JP Saehu kepada Antara London, Jumat.
Pandangan Menteri Luar Negeri RI periode 2001-2009 itu juga disampaikan pada dinner debate yang diselenggarakan Friends of Europe, salah satu think-tank terkemuka Uni Eropa (UE) di Brussel, dan Konrad Adenauer Stiftung.
Ungkapan yang sama disampaikan Hassan Wirajuda saat bertemu anggota Parlemen Eropa yang juga Ketua Delegasi Parlemen Eropa untuk negara-negara Asia Tenggara, Dr Werner Langen, di Gedung Parlemen Eropa, Brussel mengenai isu Laut Tiongkok Selatan.
Dr Wirajuda menilai kawasan Asia memiliki potensi konflik yang tinggi dan belum mempunyai prosedur dan mekanisme untuk mengurangi ketegangan guna menyelesaikan konflik.
Berbeda dengan Eropa pada puncak perang dingin menyepakati Helsinki Final Act (HFA) ditandatangani 35 negara tahun 1975
mengenai kerja sama keamanan di Eropa. HFA mencakup berbagai isu global khususnya dalam menghadapi tantangan keamanan saat itu yaitu kemungkinan perang nuklir, masalah kemanusiaan dan HAM.
Kekhawatiran akan timbulnya konflik di Asia, antara lain diungkapkan Dr Wirajuda mengenai kondisi psikologis di Asia Timur akibat warisan sejarah Perang Dunia Kedua di mana tiga negara yaitu Jepang, Korea, dan Tiongkok hampir tidak pernah bersepakat dalam segala isu kecuali isu ekonomi dan perdagangan.
Kunci untuk memperbaiki hubungan ketiga negara tersebut, menurut Dr Wirajuda adalah bagi Jepang untuk meminta maaf, dan selanjutnya membangun hubungan positif ke depan.
Sementara itu, Perang Korea hanya diakhiri dengan Korean Armistice Agreement tahun 1953 yang hanya menyepakati gencatan senjata. Hingga saat ini, masih belum tercapai kesepakatan damai yang penuh. Situasi insecurity yang dialami Korea Utara ikut memicu Korea Utara mengembangkan senjata nuklir.
Masalah Laut Tiongkok Selatan, di mana terjadi tumpang tindih klaim antara Tiongkok dan Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, juga menjadi salah satu pemicu adanya ketegangan di kawasan. Sejauh ini belum terlihat adanya tanda-tanda penyelesaian.
Melihat situasi tersebut, Dr Wirajuda menilai perlunya dilakukan peningkatan kapasitas pada East Asia Summit (EAS) dengan menyeimbangkan antara agenda ekonomi dengan agenda politik dan keamanan.
Pewarta: Zeynita Gibbons
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015