Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah lembaga pemerhati lingkungan melakukan aksi damai di depan kantor Kedutaan Besar Jepang, Jakarta, untuk mendesak negara tirai bambu tersebut menghentikan dukungan terhadap investasi industri batu bara di Indonesia.
Aksi tersebut merupakan bentuk protes yang disampaikan langsung kepada Pemerintah Jepang atas kebijakan pengembangan industri batubara dan pembangunan sejumlah proyek-proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Indonesia melalui perusahaan-perusahaan yang berasal dari Jepang dan termasuk lembaga keuangannya.
"Lembaga keuangan dan perusahaan asal Jepang saat ini tengah gencar-gencarnya berekpansi dan menanamkan sahamnya dibidang batubara dan pembangkit listrik di Indonesia," kata Pius Ginting selaku perwakilan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, dalam rilis yang diterima ANTARA News, Kamis.
Akibatnya, lanjut Pius, ke depan udara dan lingkungan di Indonesia akan semakin tercemar akibat aktifitas perusahaan tambang dan operasional PLTU batubara di sejumlah tempat. "Jika demikian, maka dapat dikatakan bahwa Jepang turut serta dalam melakukan pencemaran lingkungan di Indonesia," tambahnya.
Ia menyebutkan, Mitsubishi UFJ Financial misalnya, sebagai salah satu lembaga keuangan terbesar kedua di Indonesia setelah Citigroup (AS) yang membiayai industri batubara di Indonesia. Dalam lima tahun terakhir, lembaga tersebut membiayai 53.337 juta dollar AS industri batubara di Indonesia. Pembiayaan tersebut jauh melampaui pembiayaan yang dilakukan oleh Bank Mandiri sebagai bank Indonesia dalam mendanai energi fosil, yakni sebesar 915 juta dollar AS.
Hal senada juga disampaikan oleh Desriko Malayu Putra selaku Pengkampanye Energi dari Greenpeace Indonesia yang mengatakan bahwa sejumlah proyek-proyek pembangunan PLTU Batubara yang didukung Jepang pada umumnya bermasalah dengan masyarakat setempat. Dalam hal pembebasan lahan, tutur Desriko, warga dipaksa untuk melepaskan tanah yang mereka kuasai dengan melibatkan preman-preman dan oknum-oknum dari TNI dan Polri.
"Lihat saja kasus pembebasan lahan untuk pembangunan PLTU Batang yang didanai oleh Japan Bank for International Coorporation (JBIC), hingga saat ini masih bermasalah. Anehnya, negara hadir dalam melakukan pembebasan lahan dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Bagi Kepentingan Umum," jelasnya.
Ia menambahkan, contoh lainnya seperti kasus yang dialami oleh warga yang tinggal disekitar PLTU Cirebon, Jawa Barat yang didanai Marubeni, mengeluh akibat air yang mereka gunakan untuk tambak garam menjadi hitam akibat aktivitas PLTU Batubara. Disekitar PLTU Paiton, Jawa Timur, warga mengeluh karena produktifitas tanaman tembakau mereka menurun dan banyak pohon-pohon kelapa yang ditanam, tiba-tiba saja mati.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Greenpeace Indonesia pada tahun 2015, menyimpulkan bahwa Batubara yang dibakar di sejumlah PLTU-PLTU di Indonesia memancarkan sejumlah polutan berbahaya seperti NOx dan SO3, kontibutor utama dalam pembentukan hujam asam dan polusi PM2.5. Partikel-partikel polutan yang sangat berbahaya tersebut, saat ini dapat mengakibatkan kematian dini sekitar 6.500 jiwa per tahun di Indonesia. Angka tersebut diperkirakan akan melonjak menjadi sekitar 15.700 jiwa/tahun seiiring dengan rencana pembangunan PLTU Batubara baru di Indonesia.
Di PLTU Cirebon dan Batang (keduanya melibatkan pendanaan Jepang), memiliki kualitas 10 hingga 20 kali lipat lebih rendah dibanding PLTU Batubara yang ada di Jepang.
Sebagai negara maju yang memiliki kemampuan finansial dan teknologi, dan memiliki tanggung jawab historis lebih besar dalam menghasilkan gas rumah kaca, maka Jepang diharapkan menunjukkan kepemimpinan mengurangi pembiayaan energi fosil dan mendorong pengembangan energi terbarukan.
Pewarta: Monalisa
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015