Mekkah (ANTARA News) - Faksi-faksi Palestina yang berseteru menandatangani satu perjanjian bersejarah pembentukan pemerintah persatuan nasional setelah perundingan maraton di Mekkah, Arab Saudi, yang diharapkan bisa akan mengakhiri baku tembak yang menelan korban jiwa dan memperoleh kembali bantuan Barat. Dokumen itu, yang dipuji sebagai awal satu "era baru," ditandatangani Kamis malam oleh Presiden Palestina Mahmud Abbas, yang memimpin partai Fatah dan pemimpin gerakan Hamas di pengasingan, Khaled Meshaal, dengan disaksikan Raja Abdullah dari Arab Saudi. Satu bagian penting dari perjanjian itu yang merupakan langkah penting untuk mencegah perang saudara, menetapkan PM Ismail Haniya tetap memegang jabatannya, pos penting menteri dalam negeri diberikan kepada kelompok independen sementara Fatah akan menerima jabatan deputi perdana menteri. "Kami telah menerima hasil-hasil yang akan membantu rakyat kami," kata Abbas pada acara itu. "Saya mengharapkan bahwa ini akan mengakhiri aksi-aksi yang memalukan" itu. Abbas meminta Haniya membentuk satu pemerintah baru menyusul perjanjian itu, yang termasuk satu rencana bagi pembagian pos-pos kementerian. Abbas mengimbau pemerintah masa depan "menghormati hukum internasional dan perjanjian-perjanjian yang telah ditandatangani Organisasi Pembebasan Palestina," kata penasehat Abbas, Nabil Amr pada acara penandatanganan itu. Perjanjian itu, yang kendatipun imbauannya untuk menghormati perjanjian yang telah ditandatangani PLO isinya tidak secara tegas mengacu pada Israel, disebut sebagai "Deklarasi Mekkah" setelah kota suci menjadi tempat di mana kedua faksi telah melakukan perundingan berat sejak Rabu. Hamas yang dipimpin Haniya pada masa lalu secara konsisten menolak mentaati perjanjian-perjanjian yang ditandatangani oleh PLO dengan Israel, yang berulangkali dituntutnya setelah perjanjian itu ditandatangani. Hamas dan Fatah juga sepakat mengenai satu program politik, tapi rinciannya tidak bisa segera diperoleh. Yang paling berat bagi Palestina adalah apakah itu akan cukup untuk menyakinkan donor-donor Barat dan Israel, untuk mengakhiri blokade yang menyusahkan rakyat Palestina itu. Barat dan Israel memboikot pemerintah Palestina sejak dibentuk Hamas Maret lalu karena Hamas tetap menolak meletakkan senjata, mengakui Israel dan mentaati perjanjian damai sementara dengan negara Yahudi itu. AS tidak segera memberikan komemntar sebelum melihat rincian dari perjanjian itu, tapi pada hari Kamis Menlu Condoleezza Rice menegaskan bahwa setiap pemerintah Palestina harus mengakui hak eksis Israel , menghentikan aksi kekerasan dan mentaati perjanjian pwrdamaian Israel-Palestina terdahulu. "Israel mengharapkan kabinet baru Palestina akan menghormati tiga prinsip yang ditetapkan masyarakat internasional," kata Miri Eisin, juruibcara PM Ehud Olmert kepada AFP. Sekjen PBB Ban Ki Moon mengharapkan perjanjian itu "akan mengekang aksi kekerasan, menciptakan masa depan yang lebih baik bagi rakyat Palestina," kata sebuah pernyataan jurubicaranya. Ban menambahkan ia menunggu untuk membicarakan "jalan kedepan" dengan kelompok-kelompok itu, negara-negara kawasan dan mitra-mitra PBB dalam Kelompok Empat Timur Tengah yaitu AS, Uni Eropa, PBB dan Rusia. Raja Abdullah memuji perjanjian itu dan mengucapkan selamat kepada kedua pihak atas " timbulnya tanggung jawab mereka dengan menghentikan aliran darah dan mewududkan persatuan nasional."(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007