Jakarta (ANTARA News) - Keberadaan perusahaan minyak dan gas bumi (migas) pada suatu wilayah bisa memberikan dampak positif sekaligus negatif.
Industri migas mampu meningkatkan pendapatan daerah dan negara, memacu perekonomian dan perbaikan infrastruktur. Di sisi lain industri ini bisa memunculkan isu lingkungan, perubahan pola permukiman serta kesenjangan sosial.
Dewan Bisnis Dunia bagi Pembangunan Berkelanjutan (WBCSD) pada 1999 menegaskan bahwa tanggung jawab perusahaan secara sosial (CSR) merupakan komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan.
Artinya jajaran pimpinan perusahaan harus mampu bekerja bersama karyawan serta masyarakat sekitar untuk meningkatkan kualitas kehidupan.
Dengan kata lain program CSR sudah menjadi bagian dari bisnis yang sama dengan kegiatan usaha lainnya. Jika entitas bisnis ini tumbuh, maka otomatis akan berkontribusi pada peningkatan pendapatan para karyawan, masyarakat dan sekaligus berdampak pada pertumbuhan daerah sekitarnya.
Komitmen CSR tersebut sejalan dengan cara pandang para pelaku bisnis saat ini. Pada era bisnis modern termasuk di industri migas, CSR bukan lagi dipandang sebagai saluran amal semata. Tetapi lebih kepada mencapai kemandirian masyarakat serta keuntungan ekonomi yang berkelanjutan.
Pandangan yang digagas sejak abad ke-20 tersebut meyakini bahwa hubungan bisnis dan lingkungan usaha tidak bisa dipisahkan. Sebab lingkungan usaha memberikan pengaruh terhadap kegiatan operasional perusahaan.
Pakar CSR dari Universitas Padjadjaran Bandung Dr Risna Resnawaty sepakat kegiatan CSR dilakukan dalam koridor penguatan masyarakat akan memberi dampak positif secara ekonomi, sosial maupun lingkungan perusahaan.
Hanya sangat disayangkan dari hasil riset di sejumlah perusahaan migas dan pertambangan, Risna sering menemukan perusahaan dalam menjalankan CSR masih terjebak dalam terminologi "memberi bantuan". Hal itu membuat masyarakat terbiasa menjadi pihak yang dibantu, bukan yang mempunyai daya untuk mengubah nasib mereka sendiri.
Padahal pelaksanaan CSR di perusahaan migas pada ujungnya harus mampu memberikan penguatan daya saing masyarakat. "Dalam kerangka ini partisipasi masyarakat sejak awal program sudah menjadi keharusan," tegas Risna dalam suatu diskusi akhir Oktober lalu.
Harus diakui pelaksanaan CSR dengan melibatkan peran masyarakat (community empowerment) prosesnya lebih panjang ketimbang hanya memberi bantuan (community assistance) maupun "community relation" (menjalin hubungan). "Memang prosesnya akan berjalan lama, tetapi akhirnya masyarakat akan terbiasa," kata Risna.
Yang penting dari proses itu ada upaya untuk meningkatkan produktivitas dan mengembalikan pinjaman modal yang diberikan. Muaranya, masyarakat tidak lagi tergantung kepada perusahaan dan menjadi mandiri serta memiliki kemampuan untuk menyelesaikan persoalan mereka sendiri.
Bentuk "community empowerment" adalah yang paling ideal dalam melakukan program CSR.
Investasi sosial
Perusahaan energi multinasional semacam Chevron juga telah lama mengimplementasikan program CSR dengan tujuan pemberdayaan masyarakat tersebut. Melalui motto "investasi sosial" Chevron menjalani program ini sejak puluhan tahun lalu saat masih bernama PT Caltex Pacific Indonesia.
Julius Tahija, orang Indonesia pertama yang menduduki jabatan tertinggi di perusahaan Amerika Serikat ini yang menanamkan filosofi bahwa perusahaan hanya dapat bertahan jika mampu memenuhi kebutuhan sosialnya. Sebaliknya perusahaan hanya dapat melayani kebutuhan sosial kalau sudah mantap secara ekonomi.
Program investasi sosial tersebut dijalankan dengan mendasarkan pada penguatan masyarakat untuk perekonomian yang berkelanjutan. Strategi investasi sosial yang dikembangkan perusahaan energi ini terus berubah mengikuti dinamika yang berkembang di masyarakat.
Tujuan akhir dari kegiatan investasi sosial itu adalah menciptakan kemandirian masyarakat secara ekonomi.
"Kalau program CSR tetap dilakukan dengan kegiatan yang sifatnya donasi, tidak akan ada perubahan perilaku masyarakat. Kita mengubah strategi ke arah yang membuat masyarakat lebih mandiri dan berdaya," kata Corporate Communication Manager Chevron Pacific Indonesia Dony Indrawan.
Meski begitu manajemen perusahaan multinasional tersebut juga memahami realita di lapangan. Karena untuk sampai pada tahapan mandiri secara ekonomi, pelayanan kepada masyarakat yang bersifat pemenuhan infrastruktur, tidak bisa diabaikan.
Di negara berkembang seperti Indonesia, orang sudah mahfum soal keterbatasan infrastruktur seringkali menjadi hambatan utama dalam menggerakan perekonomian. Ketersediaan infrastruktur akan mendorong laju pergerakan yang besar bagi masyarakat sehingga kegiatan perekonomian bisa mulai bertumbuh dari adanya infrastruktur tersebut.
Pembangunan infrastruktur yang dilakukan Chevron pada masa awal beroperasinya di Indonesia adalah membangun jembatan Siak I yang menghubungkan Riau bagian utara dan selatan. Dengan adanya jembatan tersebut, akhirnya juga ikut mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat, bukan hanya Riau tetapi juga perekonomian Sumatera secara umum.
Demikian pula dengan pembangunan jalan Duri, Dumai. Cikal bakal jalan Pulau Sumatera pertama yang menghubungkan Padang di sisi pantai barat dan Dumai di sisi pantai timur selesai dibangun PT CPI pada tahun 1958. Keberadaan jalan yang awalnya hanya dipakai oleh perusahaan, kini diserahkan ke pemerintah dan dijadikan sebagai jalan negara.
Perusahaan yang berkantor pusat di Colorado, Amerika Serikat, juga ikut serta menyediakan kebutuhan listrik bagi jutaan masyarakat Indonesia melalui proyek panas bumi di provinsi Jawa Barat oleh Chevron Geothermal Indonesia Ltd dan Chevron Geothermal Salak Ltd.
Dony Indrawan mengatakan fokus investasi sosial Chevron saat ini pada layanan kesehatan, pendidikan, pembangunan ekonomi, perlindungan lingkungan dan konservasi serta rehabilitasi pasca bencana. "Semuanya bertujuan menciptakan kesejahteraan, untuk generasi sekarang dan masa depan," tegas Dony.
Untuk memastikan dampak penerapan CSR-nya, Chevron menggandeng Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia dan lembaga riset IHS.
Hasil riset kedua lembaga tersebut menunjukkan bahwa pada 2013 misalnya, Chevron bersama mitranya berkontribusi sebesar Rp125 triliun, terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan menyumbang Rp101 triliun bagi pendapatan negara.
Pada tahun yang sama, Chevron secara langsung mempekerjakan 6.219 pekerja dan ikut membantu menciptakan 259.247 lapangan kerja lainnya dari kegiatan operasinya melalui para mitra bisnisnya.
Operasi Chevron menghasilkan pendapatan bagi pemerintah Indonesia sekitar Rp455 triliun dalam lima tahun periode 2009-2013, termasuk dari mitranya. Jumlah ini lebih dari cukup untuk membangun jalan lintas Sumatra dari Aceh hingga Lampung sepanjang 2.700 kilometer.
Melalui sejarah operasinya yang panjang, lebih dari 90 tahun di Riau dan Kalimantan, perusahaan ini membuktikan program CSR tidak hanya mendukung perusahaan tetapi juga ikut menumbuhkan perekonomian dan bisnis di daerah. Sampai saat ini, Chevron masih tercatat sebagai kontributor terbesar produksi minyak dan gas nasional yakni 40 persen dari produksi migas nasional.
Kebijakan yang sama juga dilakukan BUMN sektor energi. PT Pertamina (Persero) sebagai badan usaha negara menjalankan program CSR yang diberi nama Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL).
Pertamina bahkan meluncurkan "Payung CSR" pada akhir 2011 lalu dengan motto "Pertamina Sobat Bumi" . Menurut Manager Media Pertamina Ifki Sukarya, "Sobat Bumi" bermakna bahwa bisnis Pertamina dimanapun baik dalam upaya memproduksi, memberikan jasa dan produk-produk yang dihasilkan harus memperhatikan dampak terhadap lingkungan dan masyakarat.
"Nilai ini disampaikan kepada masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan bagian dari pembangunan yang berkelanjutan," katanya.
Tipologi CSR/TJSL Pertamina terbagi dalam tiga bagian, yaitu filantropi (kedermawanan) perusahaan, manajemen risiko dan penciptaan/pembentukan nilai. Proporsi dana terbesar tipologi CSR tetap pada penguatan ekonomi masyarakat (45 persen). Sementara alokasi selanjutnya bagi mitigasi risiko bisnis (35 persen) dan filantropi (20 persen), kata Ifki.
Langkah Pertamina diikuti sejumlah anak perusahaannya antara lain PT Pertamina EP untuk pengembangan ekonomi di sekitar proyek migas. Salah satu contohnya adalah di sekitar proyek Banyu Urip Bojonegoro, Jawa Timur.
Program ini merupakan kerja sama PT Pertamina EP Cepu dan ExxonMobil dengan dukungan SKK Migas. Program yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat sekitar proyek sampai sekarang telah memberikan dukungan senilai 1,1 juta dolar AS.
Pada akhirnya kegiatan CSR atau investasi sosial adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan operasional perusahaan. Adanya program CSR bisa dijadikan modal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat dan daerah.
Program tersebut juga menguntungkan perusahaan karena bisa menjadi peredam konflik masyarakat, memperlancar operasi migas, mempererat relasi dengan pemangku kepentingan serta meningkatkan citra dan keberlanjutan perusahaan.
(.F004/S023)
Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015