Jakarta (ANTARA News) - Teater Koma memasukkan nafas Indonesia ke dalam lakon Rusia klasik "Inspektur Jendral" karya Nikolai Gogol.
Sutradara Nano Riantiarno menyadur naskah "Revizor", yang pernah membuat Kekaisaran Rusia geger karena dianggap sebagai kritik vulgar terhadap pemerintahan yang korup, dengan memasukkan unsur pewayangan.
Nuansa Jawa dan Eropa mewarnai pentas lakon komedi yang berdampak besar di dunia sastra Rusia itu.
Gunungan berwarna cerah menjadi latar belakang pementasan berdurasi sekitar empat jam tersebut. Jejeran wayang kulit menghiasi panggungnya.
Kostum para pemain adalah campuran dari busana klasik Eropa yang dihiasi keindahan kain-kain Indonesia.
Mereka yang antikorupsi, para punakawan, diberi kostum berwarna mencolok, sementara koruptor disimbolkan dengan warna monokrom, nuansa hitam dan putih.
Kadang kala para pemain mengucapkan dialog dalam langgam dalang ketika mementaskan wayang kulit atau wayang golek, atau beraksi dengan bahasa tubuh ala pemain wayang orang.
Meski lakon ini telah dipentaskan sejak 19 April 1836, Nano berpendapat ceritanya masih relevan hingga sekarang.
"Inspektur Jendral" dibuka oleh lima aktivis yang diwakili punakawan perempuan berbusana warna-warni mencolok yang berharap perubahan akan datang bila koruptor-koruptor diberantas.
Masing-masing memiliki ciri khas daerah Indonesia, ada yang bicaranya nyablak ala Betawi, lemah lembut bertempo lambat seperti perempuan Jawa, ada juga yang menggunakan logat kental Bali dan Sunda.
Canguk, Limbik, Plitit, Srikayon dan Bunguk melontarkan narasi mengenai harapan adanya pemimpin baru yang benar-benar memikirkan rakyat, bukan hanya menggendutkan kantong sendiri.
"Tak guna jika wali kota tak bekerja. Korupsi, itu yang sangat penting. Hanya Korupsi, itu tindakan mereka. Apa tak ada pemimpin baru? Yang betul-betul tak sudi korupsi? Pimpinan baru, pilihlah dia!"
Kisah Inspektur Jenderal
Alkisah, Ananta Bura, wali kota sebuah kota kecil, panik saat mendengar ada Inspektur Jendral dari pusat kerajaan Astinapura untuk menyelidiki kota yang dipimpinnya.
Inspektur Jendral akan datang karena Astinapura akan berperang melawan Amarta.
Ananta Bura pusing tujuh keliling karena takut kebusukan para pejabat di kotanya tercium oleh Inspektur Jendral.
Dia tak tahu penyelidikan macam apa yang akan dilakukan Inspektur Jendral. Yang pasti, banyak kebobrokan yang harus ditutupi bila tak ingin reputasinya hancur lebur.
Usut punya usut, semua pejabat di kota tersebut tak asing dengan praktik suap menyuap serta korupsi. Baik itu hakim, kepala kesehatan, penilik sekolah, kepala kantor pos, termasuk sang wali kota dan para polisi.
Berkat akal bulus kepala kantor pos yang rupanya gemar membuka surat-surat yang seharusnya dijaga kerahasiaannya, para pejabat melihat secercah petunjuk mengenai Inspektur Jendral.
Apakah Inspektur Jendral menyamar dan datang diam-diam agar dapat leluasa menyelidiki kebusukan-kebusukan para pejabat kota?
Kecurigaan mereka tertuju pada seorang anak muda bernama Anta Hinimba yang baru datang dari Astinapura. Sudah dua pekan dia menginap di kota kecil itu tanpa ada yang tahu tujuannya.
Di penginapan, Anta Hinimba nyaris diusir oleh pemilik hotel karena banyak meminta pelayanan ini-itu namun hutangnya tak kunjung dibayar. Penampilannya memang perlente, namun Anta Hinimba sebenarnya tak punya uang karena kalah saat berjudi.
Wali Kota gusar saat mengetahui keberadaan Anta Hinimba yang dikira Inspektur Jendral. Bagaimana bisa dia membiarkan seorang Inspektur Jendral yang terhormat berada di kota selama dua pekan tanpa jamuan mewah nan nyaman di kediamannya? Ananta Bura bergegas mendatangi Anta Hinimba.
Pertemuan pertama mereka diwarnai kesalahpahaman. Anta Hinimba mengira Wali Kota datang untuk mengusir, bahkan memenjaranya karena banyak berhutang pada orang-orang di kota.
Wali Kota mengira rakyat yang dizalimi telah mengadukan kelakuan busuknya pada Anta Hinimba.
Tarik ulur terjadi di antara mereka. Wali Kota mencoba peruntungannya dengan cara menyuap Anta Hinimba sebagai uang tutup mulut. Anta Hinimba yang sedang butuh uang untuk membayar hutang (dan kembali berjudi) sontak tercengang. Tentu saja dia senang tiba-tiba mendapat rezeki nomplok.
Bahasa tubuh Anta Hinimba diartikan Wali Kota sebagai kesepakatan atas suap menyuap. Lega sudah hati Wali Kota karena kedudukannya telah aman. Dia bisa memastikan Inspektur Jendral akan memberikan laporan-laporan positif ke Ibu Kota.
Setengah takut-takut, Wali Kota bertanya apakah Anta Hinimba sudi untuk menginap di rumahnya yang pasti tidak sebanding dengan standar pembesar dari Ibu Kota.
Tak disangka, "Inspektur Jendral" itu menyambut idenya dengan suka cita. Tentu Anta Hinimba merasa senang karena mendapat tempat menginap gratis yang jauh lebih nyaman ketimbang hotelnya.
Wali Kota segera memanjakan tamu agung itu dengan sajian mewah dan anggur berkualitas terbaik.
Apalagi di sana dia bertemu Rara Sikandi, istri wali kota, dan putrinya Sita Mahendri. Kedua perempuan itu memikat hatinya.
Hidup Anta Hinimba bagai mimpi indah di kota kecil itu. Satu persatu pejabat tinggi menghadap kepadanya dengan penuh hormat. Tak lupa mereka menyelipkan upeti agar "Inspektur Jendral" menutup mata terhadap kinerja mereka di kota.
Suatu hari, kabar menggemparkan terdengar dari rumah Wali Kota karena Anta Hinimba ingin meminang sang putri Sita Mahendri. Ananta Bura girang bukan kepalang karena pembesar dari Ibu Kota akan menjadi menantunya. Terbayang sudah pangkatnya akan dinaikkan kelak.
Di tengah suasana penuh kebahagiaan, datang kabar mengejutkan dari kepala kantor pos yang membaca isi surat dari Anta Hinimba.
Terkuaklah identitas asli Anta Hinimba yang tak lain hanyalah juru tulis yang gemar berjudi, bukan Inspektur Jendral yang mereka sangka selama ini.
"Inspektur Jendral" dimainkan aktor kawakan Teater Koma seperti Budi Ros, Ratna Riantiarno, Sari Madjid, Dorias Pribadi, Emmanuel Handoyo, Supartono JW dan Asmin Timbil.
Para punakawan perempuan yang kocak diperankan Daisy Lantang, Ratna Ully, Angga Yasti, Tuti Hartati dan Rita Matu Mona.
Aktor lain yang terlibat adalah Bayu Darmawan Saleh, Sir Ilham Jambak, Yulius Buyung, Julung Ramadan, Dana Hassan dan Rangga Riantiarno.
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015