Jakarta (ANTARA News) - Setara Institute menilai bahwa mempertahankan peradilan militer untuk mengadili pelaku pidana umum yang melibatkan personel TNI adalah pelanggaran konstitusi.
Oknum TNI AD dari kesatuan Kostrad, Sersan Satu Yoyok Hadi menembak mati di tempat seorang warga sipil yang berprofesi sebgai tukang ojek Marsim alias Japra (40) hingga tewas di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (3/11), diduga karena bersenggolan dengan kendaraan mobil yang dibawanya.
"Mempertahankan peradilan militer untuk mengadili pelaku pidana umum yang melibatkan personel TNI adalah pelanggaran konstitusi. TNI adalah manusia biasa jika melakukan pidana umum," kata Ketua Setara Institute, Hendardi, di Jakarta, Kamis.
"Peradilan Militer hanya untuk mengadili jenis pidana militer bukan pidana umum yang dilakukan oleh militer," tambahnya.
Menurut Hendardi, karena peristiwa impunitas atas anggota TNI yang melakukan pidana umum ini berulang, UU Peradilan Militer harus diubah.
"Pemerintah dan DPR harus melakukan terobosan hukum, sambil menunggu proses legislasi di DPR," ujarnya.
Lebih lanjut, Hendardi mengatakan permintaan maaf Panglima TNI, Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, atas peristiwa penembakan yang dilakukan oleh anggota Kostrad dan komitmen penyelenggaraan peradilan militer secara terbuka tidak cukup menunjukkan komitmen TNI untuk menuntaskan kasus-kasus pidana umum oleh personel TNI secara adil, transparan dan akuntabel.
"Masalah utama bukan terbuka atau tertutupnya pelaksanaan peradilan, tetapi justru pengingkaran asas equality before the law yang merupakan asas hukum dan peradilan yang dijamin konstitusi," jelasnya.
Pewarta: Monalisa
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2015