Mae Sot, Thailand (ANTARA News) - Bagi pengungsi Myanmar di kampung di seberang perbatasan Thailand, pemilihan umum di Tanah Air mereka memicu beragam perasaan, harapan bahwa pemerintah -yang mereka benci- akan dikalahkan sekaligus ketakutan akan pergolakan pada masa depan.
Ko Chit (45), yang tinggal di Mae La, kampung terbesar pengungsi dari sembilan yang dihuni sekitar 110 ribu orang, adalah salah satu yang berbagi cerita dengan Reuters.
Ia ingin oposisi Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi menang dalam pemilihan umum pada 8 November sebagai pemilihan umum pertama bebas dan adil. Namun, ia khawatir kemenangan tersebut mengakibatkan ia dikirim kembali ke Myanmar, yang menurut dia belum aman.
"Keadaannya belum tenang dan kami belum bisa kembali karena masih ada pertempuran dan penganiayaan. Jika tidak ada lembaga swadaya masyarakat mendukung kami di sana, akan lebih baik tetap tinggal di kampung ini," kata Ko Chit.
Dari sekian banyak orang yang bicara pada Reuters, ketakutan yang jelas terbaca bahwa kemenangan NLD berarti mendesak Thailand untuk mengumumkan para pengungsi sudah bisa kembali ke Myanmar dan kamp-kamp penampungan akan ditutup.
Beberapa warga bahkan telah tinggal di kamp tersebut selama 30 tahun. Sebanyak 80 persen pengungsi merupakan etnis Karen dari Myanmar timur yang melarikan diri dari konflik bersenjata dan penganiayaan yang dilakukan tentara Myanmar selama puluhan tahun militer berkuasa.
Mempercayai pemerintah Myanmar bukanlah hal yang mudah. Sebuah pemerintahan quasi-sipil yang saat ini berkuasa setelah junta menyingkir pada 2011, berkali-kali menyuarakan periode reformasi, namun tokoh-tokoh senior pemerintahan dari Partai Serikat Solidaritas dan Pembangunan (USDP) itu merupakan mantan jenderal.
Terlepas dari hasil pemilu, militer akan menempati 25 persen kursi di parlemen sesuai amanat konstitusi. Mereka juga akan mempertahankan kontrol atas menteri dan pejabat yang berkaitan dengan keamanan nasional.
Gencatan Senjata
Tidak ada satu orang pun di kamp pengungsian tersebut yang dapat menggunakan hak pilihnya. Yang terpenting bagi mereka yakni penandatanganan Gencatan Senjata Nasional oleh pemerintah Myanmar dan delapan grup etnis bersenjata, bulan lalu.
"Jika para pengungsi dipulangkan, harus ada kepastian tentang mengakhiri pertempuran, penarikan pasukan, dan keamanan penguasaan lahan. Itu hanya beberapa syarat yang mereka butuhkan, sesuatu yang tidak bisa dijamin oleh partai apapun, setidaknya tidak dalam waktu dekat," tutur Direktur Eksekutif Konsorsium Perbatasan Sally Thompson yang mengoordinasi aktivitas di kamp pengungsian.
Bagi pengungsi, kembali bukanlah pilihan yang tepat untuk saat ini.
"Kami takut. Kami tidak punya tanah tempat kami bisa pulang. Pasukan masih ada di berbagai desa," kata Oo Say Ha (66), yang tinggal di kamp Mae La.
Juru bicara pemerintah Thailand Sansern Kaewkamnerd mengatakan negaranya tidak menetapkan batas waktu pengungsi harus kembali ke Myanmar.
"Kami tidak akan mengintervensi pemilu Myanmar. Apa pun hasilnya, jika sudah tercipta perdamaian di sana, kami akan mendorong para pengungsi untuk pulang," katanya.
Thailand belum menandatangani Konvensi Jenewa tentang Status Pengungsi dan tidak memiliki hukum tertentu terkait pengungsi. Dengan keterbukaan Myanmar, pemerintah Thailand mendukung pemulangan pengungsi sebagai pilihan realistis.
Beberapa bulan usai mengambil alih kekuasaan melalui kudeta pada 2014, junta Thailand menyatakan akan memulangkan para pengungsi yang tinggal di kamp-kamp penampungan, sebuah ide yang ditentang keras oleh berbagai organisasi HAM karena akan menimbulkan kekacauan.
Kepala Organisasi Pertahanan Nasional Karen, Jenderal Ner Dah Mya, mengatakan ia tidak percaya kesepakatan gencatan senjata yang telah ditandatangani kelompoknya, akan bertahan lama.
"Jika para pengungsi tinggal jauh di dalam Myanmar dan sesuatu terjadi, mereka akan sulit menyelamatkan diri lagi. Batas antara hidup dan mati itu tipis sekali," katanya kepada Reuters.
(Uu.Y013/B002)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015