"Sejak itu saya sudah menderita kedua penyakit tersebut. Pada 2011 sempat dirawat di RSUD Dok II Jayapura dan operasi khusus pengangkat hernia namun tidak sampai tuntas," katanya di Kampung Ansudu, Kabupaten Sarmi, Papua, Selasa.
Menurut dia, statusnya sebagai menjadi guru honorer terjadi saat Bupati Eduard Fonataba memimpin Kabupaten Sarmi mengeluarkan kebijakan untuk menempatkan anak pribumi lulusan SMA/SMK menjadi guru di kampung masing-masing.
"Pada 2003/2004 saya resmi menjadi guru honorer dan mengajar di SD YPK Ansudu hingga kini," katanya.
Seiring berjalannya waktu, penyakit yang diderita kian parah, sering pusing atau sakit kepala namun tidak bisa berobat karena terkendala biaya, katanya.
"Meski sakit, saya selalu mengajar di SD ini bersama seorang guru kontrak dan rekan-rekan guru honorer yang aktif. Tapi kalau pusing, saya istirahat dan pulang. Anak-anak sekolah juga pulang," katanya.
Hermanus pernah dioperasi hernia pada 2011 tetapi membutuhkan pengobatan lanjutan di luar Papua.
Isterinya telah meninggal dunia karena terbentur tembok sumur air, katanya.
"Itulah kendala saya tidak bisa obati hernia hingga tuntas dan kian membesarnya kedua kaki saya. Kalau kaki gajah ini, dokter di Puskesmas Sarmi pernah katakan demikian dan butuh biaya obat, tapi saya tidak mampu dengan honor hanya Rp1,8 juta per bulan," katanya.
Hermanus berharap pihak yayasan yang mengelola SD YPK Ansudu dan Pemerintah Kabupaten Sarmi terutama Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan bisa membantu mengobati penyakit yang dideritanya itu.
"Harapan saya, pemerintah bisa membantu mengobati penyakit ini. Saya masih menanggung ketiga anak yang masih sekolah tanpa seorang istri," katanya.
Pewarta: Alfian Rumagit
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015