Saya lahir di sini, tetapi saya tidak memiliki hak apapun sebagai warga Tiongkok. Saya selalu mendapat kesulitan dalam apapun yang saya lakukan. Tidak ada apapun di Tiongkok yang dapat membuktikan keberadaan saya."
Beijing (ANTARA News) - Ia lahir di Beijing dan tinggal di sana sepanjang hidupnya. Namun, seperti jutaan orang lain yang dianggap melanggar kebijakan satu anak di Tiongkok, keberadaan Li Xue tidak diakui oleh negaranya.
Ia tidak berhak memiliki hak atas pendidikan, perawatan kesehatan, atau pekerjaan resmi. Tanpa akta kelahiran dan surat identitas, Li adalah "anak gelap", mahluk asing di negaranya sendiri yang tidak bisa masuk ke perpustakaan umum, menikah secara sah, dan bahkan naik kereta, lapor AFP.
"Saya lahir di sini, tetapi saya tidak memiliki hak apapun sebagai warga Tiongkok. Saya selalu mendapat kesulitan dalam apapun yang saya lakukan. Tidak ada apapun di Tiongkok yang dapat membuktikan keberadaan saya," ujar Li.
Pekan lalu, pemerintah Tiongkok mengumumkan akhir kebijakan sangat kontroversial yang membatasi setiap pasangan dengan hanya satu anak tunggal. Sebaliknya, semua keluarga diizinkan memiliki dua anak.
Acapkali ditegakkan secara brutal lewat aborsi dan sterilisasi, aturan itu memiliki dampak yang kompleks dan abadi.
Orang tua Li telah memiliki satu anak perempuan yang lahir dengan dokumen sah dan tengah mendapat cuti panjang dari pekerjaan mereka sebagai buruh pabrik saat ibunya secara tidak sengaja hamil. Mereka tidak menginginkan anak kedua, katanya, namun ibunya terlalu sakit untuk bisa mengenyahkan janinnya.
Keluarga-keluarga yang melanggar aturan harus membayar biaya pemeliharaan sosial untuk melegalkan anak-anak mereka dan menjamin mereka memperoleh "hukou", seluruh pendaftaran penting rumah tangga di negara komunis Tiongkok, yang menjadi jaminan pelayanan pemerintah Tiongkok terhadap warganya.
Pemerintah melegalkan Li dengan biaya 5.000 yuan, jauh melampaui pendapatan orang tuanya yang hanya 100 yuan per bulan, bahkan sebelum ibunya diberhentikan tetap saat pabrik tempatnya bekerja mengetahui berita kehamilan keduanya.
Saat ini, Li yang berusia 22 tahun, akan selalu tidak diakui di negaranya.
Sejak umur enam tahun, ia menyadari dirinya berbeda dengan anak-anak lain saat teman-teman sepermainannya mulai bersekolah dan kemudian para orang tua mulai meminta anak-anak mereka menjauhinya.
"Saya mulai melihat hidup saya sangat berbeda dengan orang-orang di sekitar saya karena saya tidak memiliki hukou," katanya pada AFP.
Ibunya, Bai Xiuling mengatakan bahwa Li seringkali menangis dan merengek karena ingin sekolah namun tetap tidak bisa.
"Bahkan kami harus meminta obat pada para tetangga jika ia sakit," tutur Bai.
Lapangan Tiananmen
Secara resmi, populasi Tiongkok mencapai 1,47 juta jiwa pada akhir 2014, dan data sensus 2010 menunjukkan negara tersebut memiliki 13 juta "anak gelap" seperti Li, atau lebih dari seluruh populasi Portugal.
Saudari Li yang berusia delapan tahun lebih tua, Li Bin, mengajari adiknya membaca dan menulis. Namun, saat anak-anak seusianya bersekolah, Li setiap hari berdiri di luar kantor pemerintahan dimana orang tuanya berharap seseorang akan mendengarkan permohonan mereka.
"Kami ke sana berkali-kali, hampir setiap hari. Bahkan jika cuaca bagus, kami bisa ke kantor pemerintah dua kali dalam sehari," kata ibu Li, Bai (59).
Di jantung negara Tiongkok, Lapangan Tiananmen, Li memegang sebuah poster bertuliskan "Saya ingin sekolah".
"Ke mana pun kami pergi, kami selalu ditolak," kata Li dengan tuntutan hukumnya yang sia-sia.
Namun, upaya mereka tidak luput dari perhatian. Keluarga Li mengatakan mereka diawasi selama puluhan tahun oleh polisi, termasuk beberapa pukulan yang ditujukan pada orang tua Li, yang salah satunya menyebabkan mereka terbaring di tempat tidur selama dua bulan.
Ketika ayah Li meninggal pada November 2014, polisi berpakaian preman berdiri di luar rumah sakit.
"Ayahnya selalu mengatakan padanya agar tidak putus harapan. Ia meninggal dengan mata terbuka. Bagaimana ia bisa beristirahat dengan tenang? Tentu saja tidak bisa," kata Bai sambil menangis.
Pelaksanaan kebijakan keluarga berencana selalu bervariasi di seluruh Tiongkok, dan beberapa wilayah menyatakan mereka akan mulai memberikan hukou pada orang-orag yang orang tuanya belum membayar denda.
Dihubungi pada Minggu oleh AFP, seorang pria di kantor polisi lokal tempat keluarga Li tinggal mengaku akan memberikan hukou jika Li datang padanya.
Namun Li berkata: "Selama 22 tahun terakhir, saya sudah melihat dengan sangat jelas bagaimana pemerintah mengatakan akan ada undang-undang perubahan, namun tidak benar-benar mengubah keadaan."
Ibunya menambahkan, "Kami lemah dan mereka kuat."
Kehilangan Banyak
Keluarga Li menempati dua kamar tanpa kamar mandi di sebuah rumah bersama di Beijing.
Li Bin berhenti sekolah pada usia 16 tahun untuk membantu keluarga dengan bekerja di KFC dan kemudian di perusahaan elektronik.
Tekanan yang dihadapi keluarga telah menghancurkan pernikahannya, namun ia mengaku tidak membenci keadaan adiknya dengan mengatakan bahwa untuk sebuah pekerjaan standar dan legal, majikan tidak bisa mempekerjakan seseorang tanpa kartu identitas.
"Kami benar-benar menyayangi Li Xue karena kami merasa dia telah kehilangan banyak. Kami ingin ia merasa hangat di rumah kami karena tidak ada cara baginya untuk merasakan kehangatan di tengah masyarakat," katanya.
Saat ini, Li Xue menemukan pekerjaan di sebuah restoran yang tidak melihat masa lalunya yang tanpa dokumen.
"Untuk pertama kalinya saya bisa dinilai berdasarkan apa yang saya lakukan, kemampuan, bukan status saya, dan rasanya sangat menyenangkan," katanya.
Lalu Li menambahkan: "Pekerjaan ini hanya sementara. Saya belum bisa membayangkan apa yang akan saya lakukan di masa depan."
(Uu.Y013/G003)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015