Kalimat yang menyebut bahwa dampak perubahan cuaca jauh lebih mengerikan ketimbang perang nukilir bukanlah spekulasi atau provokasi terhadap para pegiat anti penyebaran senjata nuklir yang kini sedang mengeroyok Iran. Kalimat itu adalah ucapan dua kampiun sains, yaitu Stephen Hawking, sang fisikawan agung pasca Albert Einstein yang menjadi pencetus teori Dentuman Besar, dan James Lovelock, kimiawan yang juga aktivis lingkungan hidup. "...dampak perubahan cuaca terhadap kehidupan manusia sama mengerikannya dengan perang nuklir," kata Hawking seperti dikutip Science Daily akhir Januari 2007. Hawking mendesak umat manusia menempuh berbagai cara guna mengatasi perubahan iklim karena bila tak dihadapi maka dampaknya akan makin merusakkan kehidupan. Sir Martin Rees, profesor kosmologi dan astrofisika di Universitas Cambridge, Inggris, memperkuat Hawking dengan mengatakan perubahan iklim berpotensi menghancurkan peradaban umat manusia. Kalimat lebih provokatif keluar dari mulut pegiat nomor wahid pelestarian lingkungan, James Lovelock. Kimiawan, penemu dan mahaguru kaum environmentalis itu menyatakan perubahan iklim jauh lebih berbahaya ketimbang perang nuklir. "Bahkan perang nuklir tidak menyiptakan tingkat kerusakkan seluas ditimbulkan pemanasan global," kata Lovelock seperti dikutip Mingguan Jerman der Spiegel. Lovelock mengajukan analogi terkenalnya mengenai Planet Bumi yang ia anggap sebagai "makhluk hidup" dalam hipotesisnya yang kesohor, Hipotesis Gaia. Gaia adalah Dewi Pertiwi dalam mitologi Yunani kuno. Dalam hipotesisnya, Lovelock menyatakan bahwa "Gaia" mengendalikan sistem kehidupan di daratan, air, dan udara supaya Planet Bumi tetap bergerak tak ubahnya organisme hidup. Hipotesisnya ini menjadi pemicu gerakan global penyelamatan lingkungan sekaligus melahirkan ilmu baru, Ilmu Sistem Bumi. Bumi, kata Lovelock, mengatur sendiri stabilitas suhunya lewat hubungan saling memengaruhi antara daratan, air, udara, tumbuhan, bakteri, dan fauna. Semua unsur ini bekerja bersama supaya Bumi seimbang dan ketimpangan dalam mekanisme alam tak membuat dunia rusak. Namun kondisi ini segera berubah setelah Bumi diintervensi oleh apa yang disebut Lovelock sebagai "epidemi manusia". Epidemi itu adalah nafsu manusia untuk menghancurkan hutan dan menggerusi lahan pertanian sehingga kemampuan alam dalam menyeimbangkan dirinya terganggu yang akhirnya menimbulkan bencana skala besar di mana-mana. Puncak kerusakkan terjadi dalam 50 tahun terakhir manakala temperatur Bumi terus memanas sehingga "alam" memberontak untuk kemudian menghadiahi manusia dengan bencana-bencana seperti banjir bandang dan gelombang badai. PBB menyebutkan, perubahan cuaca abad 21 akan jauh lebih mengerikan dibanding abad 20. Ulah manusia Lovelock meramalkan, masa depan Bumi pada abad 21 memburuk karena terus berubahnya iklim akibat ulah manusia yang telah menghancurkan sebagian besar bagian dunia. Pada tahun 2100 jumlah penduduk dunia akan berkurang menjadi semilyar orang atau bahkan separuhnya dari itu. "Perubahan iklim akan berdampak pada semua aspek kehidupan," kata Manfred Stock dari Potsdam Institute for Climate Impact Research, Jerman. Buktinya, kondisi lingkungan memang kian kacau. Gelombang pasang, gempa, cuaca buruk, longsor, banjir, badai dan angin topan menyengsarakan manusia dan menghancurkan pencapaian ekonomi dan budaya umat manusia. Mungkin karena rentetan prahara alam inilah dunia akhirnya menjadi lebih serius menanggapi bahaya pemanasan global yang pada Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, minggu lalu menjadi topik pembahasan utama. AS yang selama ini menulikan diri dari isu kerusakan lingkungan dan pemanasan global mulai berubah sikap. Perusahaan-perusahaan besar seperti General Electric, Dupont, dan Alcoa yang dulu menentang Protokol Kyoto mendesak Presiden George Bush mengambil langkah radikal mengatasi pemanasan global. Bush akhirnya mengakui perubahan iklim sebagai "tantangan serius" bagi kelangsungan hidup umat manusia. PBB justru bertindak lebih jauh. Badan supranasional ini membentuk Panel Antar Pemerintah Tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang beranggotakan 2.500 peneliti dan pejabat pemerintah dari 130 negara. Mereka bekerja melalui berbagai model ilmiah terinci yang melukiskan bagaimana iklim berubah pada tahun 2100 dan masa-masa sesudahnya. Panel ini menyimpulkan, emisi gas buang akibat aktivitas manusia adalah penyebab utama mengapa hari-hari semakin panas, malam menjadi gerah, gelombang pasang kian mengerikan, hujan deras dan banjir, kekeringan, dan kian dahsyatnya kekuatan badai dan gelombang tropis. Efek rumah kaca karena ulah manusia, ungkap Panel PBB, membuat gunung dan gurun es mencair, permukaan laut naik, udara dan samudera kian memanas. Tak heran, rata-rata temperatur Bumi pada tahun 2100 diperkirakan naik 3 derajat celsius dibanding semasa era pra industri, sedangkan permukaan laut meningkat dari 35 inci menjadi 43 inci dan akan terus naik hingga 1.000 tahun ke depan. "Bumi makin panas sehingga nantinya buaya pun bisa berenang di Samudera Arctic seperti dilakukan nenek moyang buaya 55 juta tahun lalu," kata Lovelock. Nuklir "Situasi yang dihadapi manusia sekarang mirip motor boat yang mesinnya tiba-tiba mati saat berada di ujung air terjun. Tak ada yang bisa diperbaiki karena kita tahu sedang berada di ujung maut," kata Lovelock. Yang bisa dilakukan manusia hanyalah memperlambat skala dampak pemanasan global, tetapi itu pun mesti dengan menempuh langkah radikal, bukan lagi sekedar revolusi hijau. Konsep "pembangunan berkelanjutan" dan "energi yang dapat diperbarui" seperti pemanfaatan tenaga matahari dan angin atau listrik dikritik beberapa kalangan sebagai ketinggalan jaman. Energi angin dan matahari tidak cukup memenuhi kebutuhan dunia akan energi. Sebaliknya suplai listrik yang terjaga adalah kunci untuk mengatasi krisis energi dan mencegah pemanasan Bumi. "Salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan memperluas pemanfaatan energi nuklir untuk memenuhi kebutuhan energi global yang aman lingkungan, massal dan murah," kata Lovelock. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir, kata Lovelock, lebih aman dan ramah lingkungan ketimbang tambang batu baru, minyak bumi, atau energi fosil lainnya. "Tunjukkan padaku di mana kuburan massal Chernobyl berada," tantang Lovelock. Faktanya, jumlah orang yang mati akibat radiasi nuklir menyusul meledaknya Reaktor Nuklir Chernobyl, Rusia pada 1986, masih kalah banyak dibandingkan korban polusi karbondioksida (CO2). Setiap tahun jutaan orang mati gara-gara menghisap gas karbondioksida (CO2) hasil pembakaran energi fosil seperti minyak bumi. Selain itu, pemanfaatan energi nuklir ternyata lebih mudah dikontrol ketimbang 30 milyar ton gas CO2 yang dilepas ke udara setiap tahun dari pembakaran bahan-bahan bakar energi fosil seluruh dunia. Bom nuklir memang menghancurkan, tapi energi nuklir adalah alternatif untuk memenuhi kebutuhan energi yang lebih besar dan aman bagi umat manusia. Justru residu pestisida pada tanaman dan radiasi telpon genggam yang bisa menimbulkan kanker adalah bahaya nyata ketimbang energi nuklir, kata Lovelock. Dia mungkin provokatif, tetapi inti pesannya justru mulia yaitu mendesak manusia untuk lebih kreatif dan cerdas dalam menyikapi perubahan iklim yang telah menciptakan berbagai bencana besar di hampir semua bagian dunia. Ketimbang terus memanaskan bumi dengan eksplorasi habis-habisan sumber energi fosil, ada baiknya dunia menoleh kepada energi nuklir yang jarang merusak ekosistem dan udara Planet Bumi. Selain harus lebih kreatif berteknologi, umat manusia perlu mengubah paradigma mengelola diri dan lingkungannya. Ini termasuk kepedulian pada lingkungan dan kemampuan menyediakan jaminan kehidupan bagi generasi mendatang. Konsekuensinya, paradigma kepemimpinan, termasuk kepemimpinan politik, juga mesti berubah. "Kita butuh para pemimpin politik yang segar dan baru, yaitu politisi yang ingin mengelola kondisi lingkungan tetap baik dan menempatkannya lebih penting dari apa pun," kata Lovelock.(*)
Oleh Oleh A. Jafar M. Sidik
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007