Washington (ANTARA News) - Sekitar 50 editor dari media utama dunia seperti New York Times, Washington Post, Seddeutsche Zeitung, dan Agence France-Presse, memberikan perhatian atas kebebasan pers di Turki dan mendesak Presiden Turki, Recep Erdogan, untuk menghargai independensi dan kritik media massa.
Para penandatangan surat terbuka yang ditujukan kepada Erdogan merasa makin khawatir apa yang mereka katakan memburuknya kondisi bagi kebebasan pers di Turki, hanya beberapa hari sebelum pemilihan umum yang dijadwalkan pada 1 November 2015.
Asosiasi Koran dan Publikasi Berita Dunia (WAN-IFRA) dalam kemitraannya dengan English PEN, yang mengoordinasikan surat terbuka dan mendorong para editor di dunia untuk memublikasikannya agar membantu melepaskan tekanan dari otoritas Turki untuk menjunjung tinggi kebebasan pers.
"Kolega kami dan teman-teman di Turki butuh dukungan kita, sekarang lebih daripada sebelumnya," kata WAN-IFRA dalam keterangan persnya Jumat pagi sebagaimana dilaporkan Kantor Berita Turki, Cihan.
Dalam pernyataan yang dikirimkan kepada editor media di dunia, WAN-IFRA mengingatkan bahwa media yang independendan kritis menentang pemerintah di Turki, menjadi sasaran "serangan terus menerus" pemerintah.
Mereka mencatat sejumlah jurnalis Turki telah dipenjarakan, perusahaan media diserang, dan komentar pedas mengenai peran media sering terdengar.
"Minggu ini saja, sebuah kelompok media yang beroposisi ditangkap dan wartawan yang meliput peristiwa diserang," kata pernyataan tersebut.
Para penandatangan tersebut di antaranya Dean Baquet, selaku editor eksekutif The New York Times, Michele Leridon, editor berita global AFP, Shane Smith pendiri VICE Media, Mario Calabresi, Pemimpin Redaksi La Stampa, Wolfgang Krach, jajaran pemimpin redaksi Seddeutsche Zeitung, David Remnick, editor New Yorker, Zaffar Abbas, editor Dawn, dan Martin Baron, editor eksekutif Washington Post.
Para editor tersebut mengingatkan insiden dua bulan lalu yang meresahkan, termasuk juga serangan fisik terhadap koran dan wartawan vokal.
Surat tersebut menyatakan bahwa penyitaan Koza-Ipek Media Holding, penahanan tiga wartawan yang bekerja pada Vice News, dan pelanggaran hukum lainnya menjadi penyebab keprihatinan.
"Kami mendesak Anda agar menggunakan pengaruh Anda untuk menjamin wartawan, apakah mereka warga Turki atau anggota pers internasional, harus dilindungi dan diizinkan untuk bekerja tanpa hambatan," kata editor meminta Erdogan, yang dikenal sebagai pemimpin terburuk dalam menghormati kritik media.
Para editor menandai situasi media sebagai "musim intimidasi" dan mengatakan di sana ada kekhawatiran tinggi dari "budaya impunitas" yang berfungsi untuk menghilangkan wartawan dari pengamanan yang diperlukan dalam melakukan pekerjaan penting mereka dan membuat mereka rentan terhadap intimidasi dan bahkan kerusakan fisik.
Masyarakat Turki akan mengikuti jajak pendapat pada Minggu dan para pengamat menyatakan bahwa pemilihan umum tidak akan adil, mengingat distribusi penyiaran kampanye yang tidak merata serta tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap media yang kritis.
Pada Selasa, contohnya, polisi anti huru-hara Turki menyerbu kantor pusat Ipek Media Holding, menyita dua koran, dua saluran televisi, dan sebuah saluran radio.
Pada Jumat, media tetap melakukan penyiaran dan publikasi mereka, sekalipun di bawah pengawasan ketat pemerintah. Halaman depan kedua koran tersebut dihiasi gambar Erdogan dan Perdana Menteri Ahmet Davutoglu.
Pengambilalihan media memicu kritik luas dari dunia. Uni Eropa dan Amerika Serikat mengecam keras penyitaan tersebut, sementara Freedom House mengatakan "penyensoran" merusak kejujuran pemilu.
Para editor yang menandatangani surat terbuka tersebut mengatakan bahwa pemerintah Turki gagal mendukung dan melindungi wartawan, di mana hal itu dapat merusak reputasi negara itu di mata dunia internasional dan merusak reputasi Turki sebagai negara demokrasi.
"Kami ikut prihatin dalam peristiwa yang terjadi baru-baru ini sebagai upaya untuk membungkam para oposisi atau yang mengajukan kritik terhadap pemerintah menjelang pemilu," demikian pernyataan editor.
Menurut Reporters Without Borders, Turki menempati peringkat ke-149 indeks kebebasan pers, sedangkan Freedom House menempatkan Turki sebagai negara yang tidak memiliki kebebasan pers.
"Kami mengakui bahwa Turki menghadapi periode ketegangan yang cukup besar," demikian isi surat itu seraya menambahkan bahwa pada banyak kesempatan peran pers bebas menjadi "semakin penting."
Para editor media internasional mengatakan bahwa institusi negara di Turki berkewajiban menghormati dan mengambil langkah-langlah untuk menegakkan hak untuk kebebasan berekspresi.
"Sebagai editor, kami kecewa melihat wartawan dan kelompok media dan publikasi yang menjadi target. Kami semakin khawatir hal itu berdampak pada laporan peristiwa di Turki secara utuh dan akurat, baik di dalam maupun di luar negeri," demikian kesimpulan surat tersebut.
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2015