Yerusalem (ANTARA News) - Seorang polisi paramiliter Israel menembak mati warga Palestina yang menusuk tentara di Tapi Barat pada Kamis.
Aksi tersebut tersebut, sebagaimana penusukan yang terjadi pada beberapa waktu terakhir, terjadi di kota Hebron, Tepi Barat. Dengan demikian, pusat kekerasan kini bergeser dari Yerusalem menuju ke Tepi Barat.
Salah satu faktor yang menyebabkan perpindahan titik kekerasan tersebut adalah pengamanan ketat oleh kepolisian di pemukiman warga Israel keturunan Palestina di Yerusalem.
Sementara itu, salah satu penyebab munculnya gelombang penusukan adalah ketegangan relijius terkait status Masjid al-Aqsa yang merupakan tempat suci baik bagi kaum Muslim maupun pemeluk Yahudi.
Dalam aturan yang berlaku pasca-perang 1967, kaum Yahudi hanya diperbolehkan untuk mengunjungi Masjid al-Aqsa dan tidak boleh berdoa di tempat tersebut. Sementara di sisi lain, pihak Muslim boleh melakukan keduanya.
Namun, naiknya kunjungan kelompok Yahudi di kompleks masjid tersebut kemudian memunculkan tudingan dari pihak Muslim bahwa Israel hendak mengubah aturan beribadah.
Pemerintah Israel sendiri sudah menyatakan komitmen untuk tidak mengubah aturan yang sudah berlaku sejak lama di masjid yang terletak di Kota Tua, Yerusalem, tersebut.
Juru bicara militer pada Kamis menerangkan bahwa pelaku penusukan melakukan aksinya di pos pengawasan militer dekat dengan tempat yang dianggap suci baik oleh Yahudi maupun Muslim, Hebron. Melihat insiden tersebut, seorang anggota kepolisian paramiiter kemudian menembak pelaku.
Korban penusukan hanya menderita luka ringan.
Sejak gelombang penusukan terjadi pada 1 Oktober lalu, setidaknya 61 warga Palestina ditembak mati oleh Israel di Tepi Barat dan Gaza. Namun, hanya 34 di antara mereka yang merupakan pelaku penyerangan dengan pisau maupun senjata api.
Di sisi lain, 11 warga Israel tewas karena penusukan dan penembakan.
Amnesti Internasional mengatakan bahwa beberapa pembunuhan terhadap warga Palestina yang dilakukan Israel sama sekali tidak adil. Organisasi tersebut juga menuding Israel telah menggunakan "tindakan ekstrem dan melanggar hukum."
(UU.G005/A/G005/C/M038)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015