Kenyataannya perpanjangan (kontraknya) dipercepat pada tahun 2014. Ini tidak ada bedanya dengan kasus Freeport,"
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli menilai kasus perpanjangan kontrak konsesi Jakarta International Container Terminal yang dilakukan PT Pelindo II (Persero) Tbk tidak jauh beda dengan masalah rencana perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia.
Rizal dalam rapat bersama Panitia Khusus (Pansus) Angket Pelindo II di Kompleks Parlemen Jakarta, Kamis, mengatakan perjanjian kontrak pengelolaan dengan Hutchinson Port Holding (HPH) baru akan berakhir pada 27 Maret 2019 tapi telah diperpanjang pada 2014.
"Kenyataannya perpanjangan (kontraknya) dipercepat pada tahun 2014. Ini tidak ada bedanya dengan kasus Freeport," katanya.
Mantan Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid itu juga mengemukakan perseroan itu telah memperpanjang perjanjian tanpa melakukan perjanjian konsesi lebih dulu dengan Otoritas Pelabuhan Utama Tanjung Priok sebagai regulator.
"Itu artinya melanggar UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, terutama pasal 82 ayat 4, pasal 92 dan pasal 344 ayat 1," katanya.
Rizal mengatakan pelanggaran lain yang dilakukan adalah tidak mematuhi surat Kepala Kantor Otoritas Pelabuhan Utama Tanjung Priok tentang konsesi.
Padahal, Kepala Kantor Pelabuhan Utama Tanjung Priok telah memperingatkan Dirut Pelindo II RJ Lino dengan surat tertanggal 6 Agustus 2014 agar tidak memperpanjang perjanjian sebelum memperoleh konsesi dari Kantor Pelabuhan Utama Tanjung Priok.
Selanjutnya, Lino juga dianggap tidak mematuhi durat Dewan Komisaris PT Pelindo II.
Komisaris Utama Pelindo II Luky Eko Wuryanto telah mengingatkan Lino dengan surat tertanggal 23 Maret 2015 agar melakukan revaluasi dan negosiasi ulang dengan HPH merivisi besaran "up front fee".
Dalam perjanjian lama pada 1999, "up front fee" sebesar 215 juta dolar AS ditambah 28 juta dolar AS, namun saat ini hanya 215 juta dolar AS saja sehingga perpanjangan kontrak dinilai menimbulkan potensi kerugian negara.
"Bayangkan volume kontainer sudah naik dua kali lipatnya, tapi kok tarifnya turun. Ini merugikan negara dan secara legal tidak betul," katanya.
Rizal juga mengatakan dalam perpanjangan kontrak tidak dilakukan tender tetapi penunjukan langsung sehingga harga optimal atau "best value" tidak tercapai.
"Padahal dari laporan BPKP, tender tertutup Pelindo II ini bisa kena tuntutan post binder claim yang melekat dari peserta tender tahun 1999," katanya.
Terakhir, Lino juga dianggap melanggar keputusan Dewan Komisaris Pelindo II yang ditandatangani Komisaris Utama Tumpak Hatorangan Panggabean tertanggal 30 Juli 2015. Isi keputusan itu menyatakan pendapat jaksa agung muda perdata tata usaha negara (Jamdatun) tidak tepat karena tidak mempertimbangkan UU 17/2008 tentang masalah konsesi.
(A062/R010)
Pewarta: Ade Irma Junida
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015