Skala prioritas dilakukan pada kasus yang sudah matang dengan bukti yang cukup
Padang (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjawab tudingan tebang pilih menangani kasus korupsi di Tanah Air oleh sejumlah pihak bahwa kesan itu muncul karena sumber daya KPK yang tidak sebanding dengan jumlah kasus yang ditanganinya.
"Soal tebang pilih itu persepsi, KPK tidak mungkin menangani semua perkara korupsi di Indonesia," kata Plt Wakil Ketua KPK Johan Budi di Padang, Rabu, usai Semiloka Koordinasi dan Supervisi Pencegahan Korupsi digelar KPK, BPKP dan Pemprov Sumbar.
Johan mengungkapkan, sumber daya manusia KPK terbatas, padahal laporan yang masuk dari 2005 sampai 2015 sudah lebih dari 65 ribu laporan.
Saat ini, kata Johan, mempunyai sekitar 1.100 orang dan pegawai, sedangkan yang menangani penindakan sekitar 30 persen.
KPK memiliki 65 penyidik atau hanya sekelas dengan jumlah penyidik yang dimiliki satu Polres. Padahal, jangkauan tugas KPK membentang dari Sabang sampai Merauke.
"Sehingga penanganan perkara tidak semua bisa ditangani KPK," jelas Johan.
Sudah itu, papar Johan, KPK baru menangani satu perkara ketika perkara ini sudsah cukup alat bukti karena jika bukti ada siapa pun akan diusut.
Karena keterbatasan inilah, KPK menentukan skala prioritas.
"Skala prioritas dilakukan pada kasus yang sudah matang dengan bukti yang cukup," sambung Johan.
Johan lalu menjelaskan, satu perkara minimal ditangani lima penyidik dan jika semua penyidik menangani perkara, maka hanya bisa 12 perkara, padahal kenyataan saat ini menangani 40 kasus.
Tentu saja, kata Johan lagi, hal ini berpengaruh pada kecepatan menangani perkara. "Apalagi kalau ada yang tangkap tangan sehingga perlu cepat ditangani karena terkait batas waktu penahanan," lanjut dia.
Terkait kemungkinan KPK membuka perwakilan di daerah, Johan mengatakan pada 2011 KPK pernah mengajukan pembukaan perwakilan di daerah untuk menampung pengaduan, namun DPR menolaknya. Pada 2013 kembali mengajukan usul ini, tapi kembali DPR menolak.
Pewarta: Ikhwan Wahyudi
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015