Bandarlampung (ANTARA News) - Lembaga Bantuan Hukum Bandarlampung mengecam tindakan oknum polisi Polsek Biha Lampung Barat yang diduga telah menyiksa Tamuzi (38) yang disangka terkait kematian gajah "Yongki", hingga korban mengalami koma dan akhirnya meninggal dunia.
Menurut Kepala Divisi Hak Sipil dan Politik LBH Bandarlampung Ajie Surya Prawira Negara, didampingi advokat publik LBH Hanafi Sampurna bersama Direktur LBH Bandarlampung Wahrul Fauzi Silalahi, di Bandarlampung, Minggu, Tarmuzi (38) yang sebelumnya mengalami koma diduga akibat mengalami penyiksaan oleh sejumlah oknum anggota Polsek Biha di Mapolsek Biha Kabupaten Pesisir Barat Provinsi Lampung akhirnya meninggal dunia pada Jumat (23/10).
Keluarga Tarmuzi, istri dan orang tuanya, beserta keluarga Suparto, kemudian mengadukan permasalahan itu ke LBH Bandarlampung.
Ajie menuturkan, Tarmuzi dan Suparto telah ditangkap oleh aparat Polsek Biha tanpa adanya surat penangkapan maupun penahanan, lalu dituduh terlibat pembunuhan gajah Yongki tanpa dasar dan alat bukti yang kuat pada Rabu (14/10).
Menurut dia, Tarmuzi dan Suparto yang diinterogasi di ruangan terpisah di Mapolsek Biha, diduga mengalami siksaan oleh oknum anggota Polsek Biha, agar dia bersedia mengaku terlibat dalam pembunuhan gajah Yongki.
Dalam kasus ini, LBH Bandarlampung menyatakan sikap, mengecam tindakan sejumlah oknum Polsek Biha yang menyiksa Tarmuzi sehingga berakibat meninggal dunia, dan Suparto yang mengalami luka-luka dan trauma berat.
"Penyiksaan terhadap Tarmuzi dan Suparto oleh sejumlah oknum anggota Polsek Biha itu bukan hanya merupakan tindak pidana justru telah dilakukan oleh polisi, melainkan merupakan pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam pasal 33 ayat 1 dan pasal 34 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia," ujar Ajie.
Dia menyebutkan ketentuan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, yaitu pasal 33 ayat 1 berbunyi: "Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiannya."
Lalu, pasal 34 berbunyi: "Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan atau dibuang secara sewenang-wenang."
Karena itu, LBH Bandarlampung mendesak Kapolda Lampung Brigjen Pol Edward Syah Pernong untuk mengusut secara tuntas dan transparan dengan menangkap dan memproses hukum terhadap sejumlah oknum Polsek Biha yang terlibat dalam penyiksaan Tarmuzi dan Suparto secara hukum pidana maupun kode etik.
"Kami juga mendesak Kapolda Lampung untuk mencopot Kapolres Lampung Barat dan Wakapolres Lampung Barat serta Kapolsek Biha, karena mereka bertanggungjawab atas terjadinya pembunuhan terhadap Tarmuji dan penyiksaan dialami Suparto," kata Ajie.
Pihaknya juga mendesak Kapolda Lampung menghentikan praktik penyiksaan dan perlakuan yang kejam yang kerap masih saja dilakukan oleh para jajaran kepolisian dalam mengusut kasus pidana.
"Kami minta dan mendesak Kapolda Lampung untuk memerintahkan jajarannya bekerja secara profesional dan menghormati HAM," katanya.
Sebelumnya, Kapolda Lampung Brigjen Pol Edward Syah Pernong menegaskan, Tarmuzi (38) merupakan terduga kuat terkait kematian gajah "Yongki" yang kedapatan mati di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Kabupaten Pesisir Barat, Lampung, beberapa waktu lalu.
"Terduga pengambil gading gajah ini sudah dikejar hingga ke Bengkulu, dan merupakan salah satu komplotan yang terkait penjualan gading gajah," kata Kapolda di Bandarlampung, Jumat (23/10) malam.
Tarmuzi, warga Pekon Pemerihan Kecamatan Bengkunat Belimbing Kabupaten Pesisir Barat, Lampung, meninggal dunia di RSUD Dr H Abdul Moeloek (RSUDAM) Bandarlampung sekitar pukul 05.00 WIB, Jumat (23/10, setelah mengalami kritis selama delapan hari.
Menurut Kapolda Lampung, berdasarkan indikator-indikator yang ada, Tarmuzi merupakan salah satu terduga kuat dalam pengambilan gading gajah di daerah ini.
Dia menuturkan, Tarmuzi sempat mengalami kecelakaan lalu lintas sehingga sampai mengalami gegar otak, dan akhirnya meninggal dunia.
"Di Krui, ketika petugas kepolisian sedang melakukan razia selektif, saat melihat polisi, Tarmuzi gugup dan mencoba menghindar sehingga terjadi kecelakaan tunggal," kata dia.
Akibat kecelakaan tersebut, ujar Kapolda, Tarmuzi mengalami muntah-muntah yang kemungkinan gegar otak.
Kemudian, pihak kepolisian membawa Tarmuzi dan saudaranya ke polsek setempat. Namun karena tidak ada rumah sakit di daerah itu, Tarmuzi yang masih dalam kondisi sadar diberi pertolongan oleh bidan, untuk kemudian dirujuk ke RSU di Liwa.
Hingga dua hari tidak ada keluarga Tarmuzi yang dapat dihubungi, sehingga akhirnya dia dirujuk ke RSUD Abdul Moeloek (RSUDAM) di Bandarlampung.
"Kami tidak main-main, mengingat upaya kami ini untuk mendukung pelestarian dan konservasi gajah-gajah ini," kata Edward.
Menurut dia, bila kasus kematian gajah "Yongki" ini pelakunya tidak tertangkap maka akan ada banyak lagi kasus-kasus serupa dan bakal semakin banyak gajah yang akan mati.
"Tarmuzi ini diindikasikan terkait dalam jaringan penjualan gading gajah yang menyebabkan kematian satwa-satwa dilindungi tersebut," kata dia.
Kapolda menyatakan, Tarmuzi dan saudaranya itu (Suparto) sudah dikejar polisi hingga ke Bengkulu.
Terkait sejumlah bukti milik Tarmuzi, seperti peralatan setrum dan peluru-peluru senjata yang diindikasikan menjadi alat pembunuhan gajah untuk diambil gadingnya, telah ditemukan oleh polisi.
"Dia ini pasti punya jaringan-jaringan lain yang terlibat dalam pembunuhan gajah, hingga jaringan lain di Bengkulu atau wilayah lain," kata Kapolda.
Jaringan-jaringan ini, katanya lagi, harus ditangkap karena kalau tidak, akan banyak gajah-gajah yang mati lagi.
"Sudah dekat pengejaran kami, bahkan untuk kasus-kasus sebelumnya akan kita ungkap hingga ke jaringan-jaringan lainnya itu," ujarnya.
Tomi Samantha, kuasa hukum Tarmuzi mengatakan menyatakan sudah melaporkan kepada Propam Polda Lampung terkait dugaan penganiayaan terhadap Tarmuzi saat ditangkap aparat Polsek Biha.
Berdasarkan pengakuan Suparto, rekan yang satu sepeda motor dengan Tarmuzi, saat dibawa ke polsek dia diborgol oleh polisi.
"Mereka sempat ditanya-tanya soal kematian gajah, hingga akhirnya dipisahkan saat diinterogasi," ujarnya lagi.
Pihaknya akan menunggu hasil visum terkait kemungkinan adanya tindak kekerasan yang menyebabkan kliennya meninggal dunia.
Yongki, gajah jantan jinak andalan pelerai konflik antara gajah liar dan penduduk setempat, ditemukan mati pada Jumat 18 September 2015.
Setidaknya sudah 20-an saksi diperiksa dalam kasus kematian gajah ini. Namun hingga kini pihak kepolisian belum merilis tersangka dalam kasus kematian gajah Yongki ini.
Pewarta: Budisantoso Budiman
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2015