Pekanbaru (ANTARA News) - Organisasi perlindungan satwa WWF (World Wildlife Fund) menyatakan kondisi Taman Nasional Tesso Nilo di Provinsi Riau sebagai habitat dari flora dan satwa dilindungi, seperti gajah Sumatera, semakin merana akibat kebakaran kuat dugaan dilakukan para perambah.
"Pada awal tahun 2015 hutan yang tersisa di Taman Nasional Tesso Nilo hanya 18 ribu hektare dari luas kawasan yang mencapai 83 ribu hektare. Dengan adanya kebakaran di kawasan itu, jumlah hutan yang tersisa pasti akan berkurang," kata Humas WWF Program Riau, Syamsidar, kepada Antara di Pekanbaru, Jumat.
Kebakaran juga melanda kawasan tersebut pada tahun ini yang sebagian besar terjadi di area yang terjadi perambahan. Kebakaran diduga untuk membuat perkebunan kelapa sawit yang kini mendominasi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN).
Syamsidar mengatakan pihaknya berharap dari bencana asap tahun ini menjadi momentum bagi pemerintah Indonesia, khususnya pemerintah daerah di Riau, untuk membenahi tata kelola TNTN yang kondisinya makin memprihatinkan. Apalagi dengan adanya pengerahan personel TNI untuk membantu proses pemadaman, diharapkan kehadiran mereka bisa memberikan efek jera bagi para perambah.
Namun, Syamsidar menyadari bahwa beragam kepentingan yang dilatarbelakangi pemilik modal besar di balik perambahan TNTN tetap akan menyulitkan proses penegakan hukum di kawasan konservasi itu. Dampaknya, peraturan yang seharusnya ditegakan untuk melindungi TNTN menjadi sulit diterapkan oleh pengambil kebijakan.
"Dari satu sisi kebijakan menjadi lemah dan di sisi lainnya setiap personel melakukan pengakan hukum di kawasan itu selalu dibenturkan dengan masyarakat yang menguasai lahan yang dibelakangnya ada pemodal besar," kata Syamsidar.
Ia menilai kerusakan kawasan tersebut tidak hanya mempercepat kepunahan satwa dilindungi seperti gajah Sumatera, melainkan juga kerugian umat manusia karena hutan adalah paru-paru sebagai penghasil oksigen dan menjaga sumber air. Khususnya untuk gajah Sumatera, kerusakan TNTN akan mengakibatkan konflik gajah dan manusia semakin tinggi.
Konflik tersebut kerap berujung pada kematian satwa bongsor itu. Apalagi berdasarkan riset Lembaga Biologi Molekuler Eijkman mengungkap perkiraan sementara pada 2014 menyatakan hanya tersisa 73 gajah Sumatera saja di TNTN, Riau. Angka itu ditetapkan setelah dilakukan penelitian populasi gajah melalui kotoran mamalia darat terbesar itu.
Lembaga Biologi Molekuler Eijkman mencoba melestarikan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) melalui kotoran bekerjasama dengan WWF. Penelitian itu, kata Syamsidar, digelar sejak 2012 dan hasilnya didapat pada pertengahan 2014.
Sementara untuk 73 gajah yang berhasil diidentifikasi itu, demikian Syamsidar, diketahui 50 di antaranya adalah betina dan 23 jantan, alias rasio jantan:betina sekitar satu banding dua.
"Namun itu belum hasil secara total. Karena dari 225 contoh kotoran gajah yang kami kirim, baru setengahnya atau sekitar 108 contoh yang selesai diteliti," kata Syamsidar.
Sementara itu, berdasarkan keterangan personel Kostrad yang memadamkan kebakaran di TNTN, kebakaran terakhir yang terjadi di kawasan itu pada bulan ini mencapai luas 40 hektare. "Kebakaran disebabkan adanya aktivitas perambahan di sana untuk membuat kebun kelapa sawit," kata Komandan Regu Kostrad Sersan Kepala Dian Syaifullah kepada Antara di lokasi pemadaman di TNTN, Kabupaten Pelalawan, Jumat.
Ia menjelaskan, sembilan personel Kostrad memadamkan kebakaran di daerah yang disebut Bukit Apolo di Desa Bagan Limau Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan sejak tanggal 20 Oktober. Para personel Kostrad yang dibantu oleh Koramil Pangkalan Kuras, anggota Balai TNTN dan perusahaan PT Indosawit Subur, kerap berjibaku memadamkan kebakaran hingga malam hari.
Tim gabungan pemadam kebakaran berhasil mengisolasi kebakaran di Bukit Apolo setelah berjibaku selama tiga hari. Para personel tim gabungan memadamkan api dengan peralatan seadanya karena akses menuju lokasi kebakaran sangat sulit dilalui mobil pemadam kebakaran besar dan minimnya sumber air. Kebakaran di area itu menghanguskan lahan sekitar 40 hektare dalam tiga hari.
Dugaan pembakaran oleh perambah juga diperkuat dengan keberadaan 30 gubuk kayu yang dibangun perambah di Bukit Apolo. Ketika kebakaran terjadi, gubuk-gubuk itu terkunci dan kosong.
Pewarta: FB Anggoro
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015