Jakarta (ANTARA News) - Delegasi DPR RI mengusulkan pentingnya dukungan pelembagaan pengawasan bagi proses pengawasan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) di level nasional maupun global, termasuk melalui forum UN High Level Political Forum on Sustainable Development.

Hal tersebut disampaikan anggota DPR RI yang juga anggota tetap Inter-Parliamentary Union (IPU) Standing Committee on United Nations Affairs, Evita Nursanty, MSc dalam pernyataan tertulis yang diterima wartawan di Jakarta, Rabu, terkait pelaksanaan the 133rd IPU Assembly and Related Meetings di Jenewa, Swiss, 15-21 Oktober 2015.

Evita Nursanty, yang juga anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, mengatakan, dirinya sudah mengusulkan agar pelembagaan pengawasan SDGs di IPU dapat dihasilkan menyusul hasil KTT Pembangunan Berkelanjutan dan juga 4th World Conference of Speakers of Parliament yang baru saja diadakan di New York, AS.

"Melembagakan mekanisme pengawasan SDGs di IPU sangat penting. Kami usulkan model mekanisme untuk melakukan review pelaksanaan di setiap negara. Kami sendiri di BKSAP DPR sudah memiliki kelompok kerja SDGs dengan berbagai kegiatan pendukungnya," kata Evita Nursanty terkait SDGs dan Parliamentary Hearing di PBB tahun 2016.

Evita juga menyinggung mengenai rencana pemilihan Sekjen PBB menyusul berakhirnya jabatan Ban Ki-moon pada 2016 mendatang. Dia mengusulkan agar Sekretariat Jenderal IPU untuk membuat inisiatif baru berkaitan dengan pemilihan sekjen PBB itu.

"Kami usulkan proses inklusif dan transparan harus menjadi bagian dari rekomendasi IPU," ujarnya.

Dia juga menyatakan, dua hal penting ini pun diusulkan, yakni meminta agar ada sesi pertemuan semua kandidat sekjen PBB dengan IPU. Kedua, DPR RI berpendapat pemilihan kandidat itu harus mengacu kepada manfaat.

Selain pembahasan isu SDGs dan posisi IPU di PBB, the 133rd IPU Assembly and Related Meetings juga membahas pengungsi, diskusi tentang peran Mahkamah Internasional dalam penyelesaian sengketa internasional, kontraterorisme, perlindungan privasi dan kebebasan pribadi di era digital, dan juga peranan perempuan dalam pembangunan.

Mengenai keterlibatan perempuan Indonesia dewasa ini dalam pembangunan, Evita Nursanty menyebut terjadinya penguatan khususnya dalam rangka legislasi untuk pemberdayaan perempuan di Indonesia, termasuk keterlibatan perempuan dalam proses perdamaian.

"Keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan di Indonesia makin luas, dan peranannya makin luas, termasuk dalam proses perdamaian. Sebagai contoh keterlibatan perempuan Indonesia dalam misi perdamaian PBB. Saat ini ada 20 orang perempuan Indonesia tergabung dalam misi pasukan perdamaian PBB, ke depan jumlah akan 100 orang," katanya.

Terkait pengungsi, Evita menyebut, data Agustus 2015, total 13.110 orang pengungsi dan pencari suaka di Indonesia. Karena itu DPR mendesak para pihak dalam konvensi terkait pengungsi untuk memerhatikan pelaksanaan prinsip-prinsip hak asasi manusia di dalam proses pemukiman kembali, dan tidak ada pembedaan perlakuan berdasarkan ras, usia, jenis kelamin atau latar belakang agama tertentu.

Pernyataan itu juga telah disampaikan Ketua Delegasi DPR RI Fadli Zon sebelumnya dalam pidatonya. "Sama seperti di Eropa, Indonesia juga mengalami fenomena migrasi. Ini membutuhkan respon multilateral. Solidaritas internasional harus berada di garis depan menghadapi situasi kemanusiaan ini," kata Fadli.

Menurutnya, masyarakat internasional harus bekerja secara kolektif untuk memecahkan Masalah ini, dan tidak harus meninggalkan beban ke negara manapun.

Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015