"Bu Evy memberi uang, ya, jumlahnya Rp200 juta," ujar Yanuar di KPK, Jakarta, Selasa.
Pernyataan tersebut dikatakannya setelah Evy diperiksa oleh KPK untuk perkara suap yang melibatkan mantan Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Patrice Rio Capella.
Sedangkan Gatot, pada saat yang sama diperiksa kembali sebagai tersangka terkait kasus suap kepada Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan.
Namun, Yanuar membantah bila pemberian uang tersebut telah direncanakan oleh Evy.
Ia menuturkan Evy maupun Gatot tidak pernah berinisiatif untuk memberikan sejumlah uang kepada Patrice.
Selain itu, uang yang ditujukan untuk Patrice tersebut, katanya, juga tidak diberikan langsung oleh Evy, melainkan menggunakan jasa orang lain.
"Bukan memberikan uang langsung ya. Jadi saya klarifikasi, Evy ini memakai jasa, kita semua tahu kantor Pengacara O.C Kaligis, ada satu karyawan magang di kantor itu, namanya Fransisca," katanya.
Menurut Yanuar, Fransisca yang mengenalkan Evy kepada Patrice.
"Kemudian pada suatu waktu Sisca atau Fransisca ini datang ke Evy, dan menyampaikan padanya Ada nggak sesuatu untuk Pak Rio?"ujar Yanuar.
Ia juga menuturkan Fransisca kemudian meminta uang sebesar Rp200 juta kepada Evy, yang dikatakannya akan diberikan kepada Patrice.
Yanuar mengatakan Evy bahkan belum pernah bertemu Patrice, namun Gatot pernah bertemu mantan Sekjen Nasdem itu ketika sedang bersama pengacara O.C Kaligis.
Sebelumnya, KPK menetapkan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho dan istrinya Evy Susanti sebagai tersangka kasus pemberian suap terkait penanganan perkara bantuan dana sosial (bansos) daerah, tunggakkan dana bagi hasil, dan penyertaan modal sejumlah BUMD di provinsi Sumatera Utara yang ditangnai Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Agung pada Kamis (15/10).
Kepada Gatot dan Evy disangkakan pasal 5 ayat 1 huruf a, hurug b atau pasal 13 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal tersebut mengatur tentang perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana penjara paling singkat 1 tahun paling lama 5 tahun dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.
Pewarta: Agita Tarigan
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015