Jakarta (ANTARA News) - Pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wapres Jusuf Kalla menorehkan sejumlah prestasi selama kepemimpinannya, terutama dalam upaya pemberantasan korupsi.
Indonesia Corruption Watch (ICW) atau lembaga pemantau korupsi di Indonesia mengapresiasi kinerja Jokowi-JK yang telah mengelola pemerintahan dan membuat kebijakan.
Apresiasi itu dilayangkan pada beberapa hal yang dilakukan Presiden dan Wakil Presiden Jokowi-JK, yakni penolakan dana aspirasi yang diusulkan sebesar Rp20 miliar per anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Kemudian, ICW juga mengapresiasi kebijakan pemerintahan Jokowi-JK yang telah menolak pembangunan mega proyek DPR. Demikian pula dengan pembatalan Budi Gunawan menjadi Kepala Kepolisian RI untuk menggantikan Jenderal Pol Sutarman.
Namun, di sisi lain, ICW mengatakan pemerintahan Jokowi-JK masih perlu mengoptimalkan upaya pemberantasan korupsi ke depan.
ICW memberikan rapor merah dengan nilai 5 dalam menilai setahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK).
Namun, ICW juga mengapresiasi atas kinerja Jokowi-JK dalam beberapa hal, yakni penolakan dana aspirasi yang diusulkan sebesar Rp20 miliar per anggota DPR.
Kemudian, penolakan terhadap pembangunan mega proyek DPR dan pembatalan Budi Gunawan menjadi Kapolri.
"Jadi, angka 5 ini sebetulnya kritis, ibaratnya orang kalau mau lulus juga lulus yang karena pengasihan dosen gitu ya, dia masih dikasih lulus. Artinya publik kecewa sebetulnya dengan respon baik kebijakan atau hal-hal lain yang terkait dengan upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan baik oleh Jokowi-JK maupun kabinetnya," kata peneliti ICW Lalola Easter dalam konferensi pers Rapor Setahun Jokowi-JK di kantor ICW, Jakarta Selatan, Selasa.
Lalola Easter mengatakan nilai diberikan dengan angka 5 itu mengisyaratkan bahwa pemerintahan Jokowi-JK berada dalam posisi kritis dalam menjalankan pemerintahan dan pencapaian program Nawacita terutama dalam pemberantasan korupsi.
"(Angka 5) Ya titik kritis, jadi kalau misalnya lulus ibaratnya kamu lompat ya tapi kakinya tersangkut ke tiang jatuh begitu," tuturnya.
Hari ini genap pemerintahan Jokowi-JK selama setahun sejak dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI pada 20 Oktober 2014.
Jika dihubungkan pada program Nawacita, ada 15 poin penting dalam upaya pemberantasan korupsi, namun ia mengatakan Jokowi-JK masih belum menggenapi pelaksanaan satu poin pun.
Memang satu tahun terbilang waktu yang belum cukup untuk melakukan berbagai kemajuan pesat seperti pemberantasan korupsi, namun mnurutnya, jika tidak dimulai dari sekarang maka akan sulit mencapai keberhasilan program Nawacita untuk waktu lima tahun di mana satu tahun telah terlewati.
"Okelah kita bicara satu tahun masih sebentar tapi kalau di satu tahun saja belum ada poin yang dicentang (sukses) kemudian di tahun ke berapa itu mau dimulai gitu ya," tuturnya.
Ia juga menambahkan jika ada sejumlah pihak di kementerian/lembaga atau yang memimpin kementerian/lembaga tertentu yang perlu dievaluasi, maka harus segera dievaluasi berdasarkan kinerja.
"Kalau kita punya catatan kritis tadi di soal penegakan hukum terus beberapa kementerian/lembaga yang tidak perform (bekerja dengan baik) ya harusnya dari kinerja itu, basis itu yang dijadikan dasar bukan kemudian perwakilan partai politik mana yang belum ada di pemerintahan Jokowi-JK," ujarnya.
Ia mengatakan ke depan Jokowi-JK harus lebih memprioritaskan pemberantasan korupsi dalam kinerja pemerintahannya.
"Meskipun banyak sekali catatan terkait dengan pemberantasan korupsi di era Jokowi-JK sebetulnya kita masih pada titik toleransi, artinya bahwa meskipun ada catatan tersebut tapi juga ada beberapa hal yang perlu diapresiasi tidak banyak memang gitu ya, artinya ke depannya Jokowi-JK itu harus menjadikan upaya pemebrantasan korupsi sebagai salah satu prioritas kerja yang juga harus dipenuhi," ujarnya.
Koreksi Kinerja
Terkait setahun kinerja pemerintahan Jokowi-JK di bidang pemberantasan korupsi, ICW memberikan catatan pada tujuh aspek yaitu pemilihan kabinet kerja Jokowi-JK, pemilihan pimpinan penegak hukum, kinerja penindakan pemberantasan korupsi, regulasi terkait dengan pemberantasan korupsi, dukungan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi, pernyataan pemberantasan korupsi Jokowi-JK, dan pelaksanaan program Nawacita bidang pemberantasan korupsi.
"Catatan ICW ini diharapkan dapat menjadi masukan dan evaluasi bagi pemerintahan Jokowi JK tentang untuk mendukung optimalisasi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia," katanya.
Catatan tersebut juga menjadi tantangan bagi pemerintahan Jokowi-JK ke depan dalam mendorong kemajuan dan kesejahteraan bangsa serta pemberantasan korupsi.
Terkait pemilihan menteri dalam kabinet kerja, Lalola mengatakan pemerintahan Jokowi-JK berangkat dari dukungan fraksi minoritas di Dewan Perwakilan Rakyat.
Ia mengatakan hanya empat partai dengan 208 kursi atau 37 persen kursi yang diperoleh Koalisi Indonesia Hebat (KIH), koalisi pendukung Jokowi.
Sementara koalisi lain yakni Koalisi Merah Putih (KMP) dapat menempati posisi pimpinan DPR. Akibatnya, ia mengatakan pemerintahan Jokowi berhadapan dengan DPR yang dikuasai partai oposisi.
"Politisasi muncul dalam sejumlah kebijakannya termasuk pemilihan menteri yang masuk dalam Kabinet Kerja pemerintahan Jokowi-JK," tuturnya.
Sementara itu, peneliti ICW Almas Sjafrina memberikan catatan mengenai aspek pemilihan pimpinan penegak hukum.
Ia mengatakan kekeliruan Jokowi pada tahun pertama pemerintahannya adalah memilih kader partai politik dalam posisi strategis di bidang hukum seperti Menteri Hukum dan HAM serta Jaksa Agung.
Padahal kedua posisi tersebut seharusya ditempati figur non parpol untuk menghindari konflik kepentingan dan terjadinya politisasi dibalik upaya penegakan hukum.
"Jokowi-JK seharusnya memilih kompetensi menteri yang bagus dan jauh dari kepentingan politik untuk menempati posisi strategis," ujarnya.
Terkait aspek dukungan terhadap eksistensi KPK, peneliti ICW Aradila Caesar mengatakan Jokowi-JK masih perlu memberikan perhatian pada penguatan KPK untuk memberantas korupsi.
Selama setahun pemerintahan Jokowi-JK, ia mengatakan kriminalisasi terhadap pimpinan dan pegawai KPK masih terus berjalan.
Ia mengatakan belum genap setahun pemerintahan Jokowi, muncul konflik antara KPK dengan institusi Kepolisian. Konflik itu terjadi setelah KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan, calon Kapolri sebagai tersangka korupsi.
"Muncul upaya perlawanan balik dari para pendukung Komjen Budi Gunawan," ujarnya.
Selain itu, Presiden Joko Widodo juga membatalkan pembentukan Tim Independen atau dikenal dengan Tim 9 untuk melakukan investigasi terhadap kriminalisasi terhadap pimpinan dan penyidik KPK.
Ia mengatakan dorongan penghentian kriminalisasi melalui penghentian penyidikan atau penuntutan dalam kasus tersebut juga tidak mendapat respon positif dari Jokowi, pihak Kapolri dan Jaksa Agung.
"Proses hukum tetap berlanjut hingga tahap penuntutan. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa Jokowi tidak mampu mengontrol dengan baik kinerja Kepolisian dan Kejaksaan," katanya.
Terkait aspek kinerja penanganan perkara korupsi, peneliti ICW Wana Alamsyah mengatakan banyak jumlah kasus korupsi dan kerugian negara yang ditangani oleh Kejaksaan dan Kepolisian.
Namun, secara kualitas tidak banyak kasus korupsi yang melibatkan aktor utama yang berhasil dituntaskan oleh pihak kejaksaan maupun kepolisian.
Peneliti ICW Lalola Easter menambahkan kasus-kasus korupsi kakap yang mengendap atau dihentikan oleh kejaksaan juga belum jelas perkembangannya.
Ia mengatakan upaya Kejaksaan menjerat Dahlan Iskan, mantan Menteri BUMN kandas di sidang praperadilan.
Kejaksaan juga belum menyelesaikan piutang uang pengganti hasil korupsi senilai lebih dari Rp 13 triliun dan eksekusi perkara perdata yang melibatkan Yayasan Supersemar milik keluarga Soeharto.
Ia menuturkan kinerja kepolisian dalam pemberantasan korupsi pada akhirnya tidak banyak terungkap ke publik karena "tertutup" kinerja Kepolisian dalam penanganan perkara kriminalisasi terhadap pimpinan KPK, KY, dan Denny Indrayana.
Demikian pula dengan kasus korupsi kakap yang ditangani oleh kepolisian seperti pengadaan UPS di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PT Pelindo belum sepenuhnya dapat dituntaskan hingga proses ke pengadilan.
Lalola melanjutkan kasus dugaan kepemilikan rekening gendut yang diduga melibatkan Komjen Budi Gunawan, yang diserahkan dari KPK kepada Kepolisian justru dihentikan karena dianggap tidak cukup bukti.
Berdasarkan pemantauan ICW atas penyidikan yang dilakukan Kejaksaan dan Kepolisian RI sejak Januari 2015 sampai minggu kedua Oktober 2015 ditemukan bahwa terdapat 319 kasus korupsi yang masuk tahap penyidikan. Kerugian keuangan negara atas kasus tersebut mencapai Rp1,48 triliun. Jumlah tersangka terkait kasus ini mencapai 664 orang.
Terkait aspek pelaksanaan program Nawacita bidang pemberantasan korupsi, peneliti ICW Siti Juliantari mengatakan dari 42 program prioritas di bidang penegakan hukum pemerintahan Jokowi-JK, ICW mengidentifikasi sedikitnya 15 program yang bersinggungan erat dengan isu pemberantasan korupsi.
"Dari 15 program 0 persen yang dikerjakan Jokowi-JK," katanya.
Ia mengatakan upaya memprioritaskan penanganan kasus korupsi di sektor penegakan hukum, politik, pajak, bea cukai dan industri sumber daya alam juga belum terlaksana.
Rekomendasi
Dalam kabinet kerja pemerintahan Jokowi-JK, peneliti ICW Almas Sjafrina mengatakan dari 34 menteri sebanyak 15 orang atau 44,1 persen Menteri Kabinet Kerja berlatar belakang politisi.
Ia mengatakan pembentukan Kabinet Kerja Kerja Kerja yang lebih terlihat sebagai representasi partai pendukung Jokowi-JK.
"Semua partai pendukung Jokowi dalam Pemilu 2014 lalu seperti PDI-P, PKB, Nasdem, dan Hanura mendapatkan kursi menteri di Kabinet Kerja. Beberapa menteri asal partai politik dinilai tidak kapabel dan diragukan integritasnya," tuturnya.
Untuk itu ICW merekomendasikan sejumlah hal yakni, Jokowi-JK harus menghindari potensi konflik kepentingan terutama dalam pemilihan menteri di kabinet kerja.
Kemudian, Presden dan Wakil Presiden Jokowi-JK juga harus mendorong optimalisasi penanganan korupsi oleh kejakssaan dan kepolisian dan penguatan terhadap tubuh KPK dalam memberantas korupsi baik dari segi kebijakan maupun peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya, ICW mengharapkan agar Presiden dan Wakil Presiden Jokowi-JK memprioritaskan sejumlah regulasi penting untuk pemberantasan korupsi.
Oleh Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015