Mungkin banyak plus minusnya Presiden kita
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli mengomentari setahun kinerja Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang dinilainya sangat berani.

"Mungkin banyak plus minusnya Presiden kita. Tapi Presiden Jokowi itu punya nyali," katanya dalam acara "Rembug Nasional Satu Tahun Pemerintahan Jokowi-JK" di Jakarta, Selasa.

Mantan Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid itu menjelaskan, keberanian Presiden Jokowi ditunjukkan saat peringatan HUT TNI pada 5 Oktober lalu.

Kala itu, Presiden Jokowi, kata Rizal, menggunakan amunisi tajam dalam demonstrasi alutsista TNI.

"Kapal perang kita nembak betulan. Pakai misil betulan. Pakai peluru tajam. Pilot F-16 dan Sukhoi juga terbangnya dekat sekali," katanya.

Menurut dia, penggunaan peluru tajam itu merupakan permintaan Presiden Jokowi sendiri.

"Kalau sampai salah lima derajat saja, bisa kena tenda para elit, habislah para elit Indonesia. Tapi bagus juga sebenarnya karena ada elit yang brengsek juga," katanya sambil tertawa.

Keberanian Presiden Jokowi, lanjut Rizal, juga terasa dalam komitmennya untuk memanfaatkan sumber daya alam untuk kemajuan bangsa dan rakyat Indonesia.

Hal itu, kata dia, berkaitan dengan negosiasi kontrak Freeport yang kini tengah digodok pemerintah. Meski, menurutnya, negosiasi kontrak seharusnya dilakukan paling lambat dua tahun sebelum kontrak berakhir yakni pada 2019.

"Presiden jelas garisnya, menterinya saja yang tidak menangkap (maksudnya). Dia (Presiden) betul-betul ingin menggunakan sumber daya alam ini untuk kemajuan bangsa dan rakyat sesuai UUD. Pak Jokowi juga jelaskan, yaitu tidak ada perpanjangan kontrak sampai sebelum dua tahun kontrak berakhir dan untuk rakyat sebesar-besarnya," ujarnya.

Menurut Rizal, hal itu berbeda dengan pemimpin sebelumnya yang gagal melindungi Blok Cepu untuk Indonesia.

Ia berkisah, saat sudah tak lagi menjabat sebagai menteri sekitar 2006 atau 2007, presiden kala itu meminta masukannya terkait Blok Cepu, Jawa Timur. Permintaan itu disampaikan menjelang keberangkatan ke Amerika Serikat, negara asal operator Blok Cepu ExxonMobil.

"Blok ini cadangannya besar, lebih besar dibanding Pekanbaru. Tadinya ini milik Indonesia, dikasih gratis oleh Tommy Soeharto. Begitu Soeharto lengser lalu dijual Australia 100 juta dolar. Kemudian dibelii Exxon 1 miliar dolar AS dan sekarang capital market-nya puluhan miliar dolar," katanya.

Menurut Rizal, kala itu, ada baiknya pemerintah Indonesia menunggu waktu yang mepet agar bisa ada tambahan 20 miliar dolar AS dari renegosiasi kontrak.

Ia juga menambahkan, pemerintah perlu membuka kompetisi dengan perusahaan migas lainnya.

"Akhirnya, pulang dari New York, seluruh direksi Pertamina yang tidak setuju sama Exxon dipecat semua. Kemudian ditunjuk negosiator yang tidak mengerti migas, yaitu Rizal Malarangeng. Jadilah tanda tangan," kisahnya.

Merasa kecewa, Rizal berharap kejadian yang sama tidak kembali terulang. Menurut dia, renegosiasi Freeport merupakan momentum untuk menulis ulang sejarah Indonesia dalam menggunakan sumber daya alam untuk kepentingan sendiri.

Pewarta: Ade Irma Junida
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2015