Singapura (ANTARA News) - Harga minyak berbalik naik (rebound) di Asia pada Selasa, dipicu perburuan harga murah menyusul penurunan tajam sehari sebelumnya ketika berlanjutnya kekhawatiran tentang kelebihan pasokan minyak mentah global menekan harga.
Patokan AS, minyak mentah light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman November naik 0,64 persen menjadi 47,40 dolar AS per barel, dan minyak mentah Brent untuk pengiriman November naik 0,48 persen menjadi 50,10 dolar AS per barel di perdagangan sore.
Kedua kontrak turun tajam pada Senin setelah naik sembilan persen pada pekan lalu, dengan WTI jatuh sekitar lima persen.
WTI dan Brent telah bangkit kembali sejak menyentuh level terendah enam tahun pada akhir Agustus, dengan minggu lalu melihat reli kuat sejalan dengan ekuitas global karena memudarnya ekspektasi Federal Reserve AS akan menaikkan biaya pinjaman tahun ini, mendorong dolar lebih rendah.
Namun para analis mengatakan reli apapun tidak mungkin mampu dipertahankan karena pasar masih kelebihan pasokan dan perkiraan untuk pertumbuhan ekonomi global lebih lambat tahun ini serta selanjutnya tidak memberikan harapan yang baik untuk permintaan minyak.
WTI gagal mempertahankan keuntungan setelah menembus batas psikologis 50 dolar AS per barel untuk pertama kalinya sejak Juli.
"Mengingat berbagai struktural negatif yang harga komoditas hadapi saat ini, dari pelambatan Tiongkok hingga dolar yang lebih kuat, serta kelebihan produksi dan persediaan besar ... itu mungkin tidak masuk akal untuk mengharapkan bahwa palung harga dapat berlangsung selama beberapa waktu," kata bank Inggris Barclays.
"Kami perkirakan harga minyak mentah hanya menunjukkan peningkatan moderat untuk enam bulan berikutnya, sebelum kondisi-kondisi-kondisi yang mendukung pemulihan berkelanjutan mulai berjalan sesuai dengan yang diharapkan pada kuartal kedua 2016," katanya dalam sebuah analisis pasar.
"Bahan utama yang hilang kali ini adalah setiap pemulihan signifikan dalam ekonomi global akan meningkatkan permintaan."
Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia telah memangkas proyeksi mereka untuk pertumbuhan ekonomi global tahun ini dan pada 2016, termasuk Tiongkok, negara konsumen energi utama dunia.
Data resmi pada Selasa menunjukkan bahwa impor Tiongkok merosot hampir 18 persen tahun-ke-tahun pada September.
"Tiongkok adalah salah satu konsumen terbesar komoditas dan penurunan impor akan langsung mempengaruhi permintaan," kata Daniel Ang, seorang analis investasi Phillip Futures di Singapura.
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2015