Hingga 6 Oktober 2015, kata dia, setidaknya faktor keberlanjutan penurunan harga komoditi, dan kenaikan tarif cukai rokok 8,7 persen, yang memicu penurunan produksi industri rokok, berimbas pada realisasi penerimaan bea dan cukai yang baru 59,8 persen dari target atau sebesar Rp116,6 triliun.
"Penerimaan bea dipengaruhi dominan oleh harga minyak sawit mentah internasional yang di bawah ambang batas 750 per dolar AS per metric ton" ujarnya kepada Komisi XI bidang Keuangan DPR. Realisasi penerimaan bea keluar, yang menindikasikan kinerja ekspor, tercatat baru 25 persen atau Rp3,08 triliun hingga awal Oktober 2015.
Untuk produksi rokok sebagai penyumbang tertinggi untuk cukai, Heru merinci penurunan penerimaan cukai hasil tembakau tidak lepas dari turunnya produksi rokok sebesar 4,3 persen. Penurunan produksi itu juga karena kebijakan ketat larangan merokok di tempat umum, dan kenaikan tarif cukai rokok yang naik 8,7 persen.
Heru merinci hingga pekan pertama Oktober, untuk kelompok bea, terdiri dari realisasi bea masuk sebesar Rp23,63 triliun atau 63,51 persen dari target dan bea keluar Rp 3,08 triliun atau 25,57 persen dari target.
Adapun untuk sektor cukai, realisasi penerimaan sebesar Rp 89,89 triliun atau 61 persen dari target, yang terdiri dari cukai hasil tembakau Rp86,5 triliun (62 persen), ethil alkohol Rp111,9 miliar (67 persen), minuman mengandung ethil alkohol (MMEA) Rp3,1 triliun (48 persen) dan pendapatan cukai lainnya Rp96 miliar.
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015