Semua itu diatur dalam RUU Jabatan Hakim. Kalau fasilitas mungkin urusan pemerintah, tapi sistem pembinaan, pendidikan, dan sebagainya akan mengikuti pola organisasi profesi, seperti ada sertifikasi, ada organisasi profesi, dan pola pendidikan profes
Surabaya (ANTARA News) - Komisi Yudisial (KY) mendorong hakim menjadi profesi melalui RUU Jabatan Hakim yang akan dibahas DPR RI pada tahun 2016.
"Eksekutif dan Legislatif sudah ada penataan, tapi Yudikatif masih belum," kata staf khusus KY, Aris Purnomo, di Surabaya, Selasa.
Ia mengemukakan hal itu di sela-sela workshop "Contempt of Court" (CoC) yang diadakan KY bersama LBH Surabaya di Universitas Hang Tuah Surabaya, 6-8 Oktober 2015.
Menurut dia, KY sudah mengawali penataan yudikatif melalui survei "CoC" (tindakan merendahkan kewibawaan, martabat, dan kehormatan hakim/peradilan) di Medan, Makassar, Samarinda, Mataram, Bandung, dan Surabaya.
"Survei itu menyimpulkan bahwa independensi hakim terpengaruh oleh ancaman, kekerasan, demonstrasi, teror, dan perbuatan onar di ruang sidang pengadilan," katanya.
Namun, para hakim yang disurvei itu tidak menyalahkan masyarakat terkait penyebab "CoC" dari masyarakat itu, melainkan mereka jujur mengakui kekurangannya.
"Mereka bilang bahwa pelayanan belum maksimal, fasilitas sidang tidak memadai, seperti pengeras suara yang lemah, keamanan peradilan kurang, ruang tunggu saksi para pihak yang campur, masyarakat kurang terdidik," katanya.
Oleh karena itu, KY akhirnya memprioritaskan aspek pencegahan, penjagaan, dan advokasi daripada penindakan hakim, karena itu muncullah RUU Jabatan Hakim.
"RUU Jabatan Hakim itu akan mendorong hakim menjadi profesi, sehingga rekrutmen, pembinaan, dan kesejahteraan hakim akan menjadi prioritas, karena itu rekrutmen hakim hendaknya bukan untuk birokrasi tapi profesi," katanya.
Selain itu, pembinaan hakim itu terkait dengan sistem seleksi yang ketat seperti akademi militer yang tidak semata-mata dari aspek ijazah, kemudian pendidikan hakim juga harus mengarah pada profesionalisme sesungguhnya.
"Semua itu diatur dalam RUU Jabatan Hakim. Kalau fasilitas mungkin urusan pemerintah, tapi sistem pembinaan, pendidikan, dan sebagainya akan mengikuti pola organisasi profesi, seperti ada sertifikasi, ada organisasi profesi, dan pola pendidikan profesional," katanya.
Namun, KY tidak hanya menunggu RUU Jabatan Hakim, karena KY sudah bekerja sama dengan KY Turki untuk mendidik 10 hakim dan 10 jaksa. "Kerja sama itu sudah berjalan dua gelombang," katanya.
Dalam workshop yang dihadiri puluhan aktivis LSM, akademisi, wartawan, dan mahasiswa itu, Kabid Litbang LBH Surabaya Abdul Fatah menegaskan bahwa perilaku hakim yang masih belum baik juga merupakan penyebab rendahnya kehormatan dan keluhuran martabat hakim.
"Bukan hanya regulasi, tapi perilaku hakim juga menjadi penyebab rendahnya kehormatan hakim yang perlu dibenahi, seperti hakim yang tertidur di persidangan, cenderung memihak, bertemu klien di luar ruang persidangan atau bahkan golf bersama, dan bentuk-bentuk perilaku lainnya," katanya.
Sementara itu, dosen Fakultas Hukum UHT Surabaya Bambang Ariyanto SH MH menyebutkan lima perbuatan "CoC" yakni perilaku tercela (tidak pantas), tidak menaati perintah pengadilan, menyerang integritas, menghalangi pengadilan, dan penghinaan dengan publikasi.
"Lima bentuk perbuatan itu menunjukkan perbaikan perilaku hakim itu bukan hanya urusan KY, tapi juga masyarakat, termasuk kalangan pers, karena itu perbaikan perilaku hakim juga harus melibatkan masyarakat," katanya.
Pewarta: Edy M Yakub
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015