Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya Widya Yudha meminta pemerintah mempertimbangkan risiko-risiko pembangit listrik 35.000 megawatt untuk menghindari kerugian.
"Risiko-risiko harus diperhitungkan. Misalnya, kalau terbangun 35.000 megawatt akan pakai mekanisme pembeliannya harus take or pay. Kalau pakai take or pay, otomatis berapa pun yang diproduksi harus dibeli Perusahaan Listrik Negara (PLN)," tutur dia di Jakarta, Senin.
Untuk mengatasi hal tersebut, menurut Satya, pemerintah harus memastikan listrik terserap penuh sehingga tidak ada "idle capacity" yang harus dibayar PLN.
Kalau menggunakan "take or pay", menurut dia, listrik yang tidak terbeli akan tetap dibayar pemerintah secara penuh.
"Di situ liability di pemerintah. Bisa jadi utang negara kalau ada ketidaksesuaian antara permintaan dan kapasitas yang dipasang. Kalau permintaan rendah, yang dipasang tinggi, yang rugi negara dalam hal ini PLN," tutur dia.
Pemerintah, kata dia, juga perlu memperhatikan mengenai izin dan pembebasan lahan agar pembangunan pembangkit tidak terhambat.
Pembebasan tanah yang terhambat dapat menimbulkan keraguan dari kalangan pengusaha sehingga Satya menyarankan pembebasan secara business to business (b to b), bukan business to government (b to g).
Selanjutnya, kata Satya, risiko yang perlu diperhatikan pemerintah adalah ketentuan harga karena penguasaan pembangkit sebagian oleh swasta (Independent Power Producer/IPP) yang sebagian besar asing.
"Itu harus dipenuhi semuanya. Kalau bisa diselesaikan, kenapa kita ragu?" ujar dia.
Sementara itu, Kepala Pusat Kajian Energi Universitas Indonesia Iwa Garniwa menyarankan pemerintah memastikan kualitas pembangkit listrik yang dibangun oleh pihak swasta asing.
"Pembangkit tidak boleh ada kualitas kedua, ini masalah jangka panjang, tidak ada lima tahun, setidaknya 20 tahun. Ini investasi jangka panjang. jadi tidak boleh ada kata-kata harga murah lalu kualitas tidak baik," kata Iwa.
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015