Maka dari itu, aku kepikiran buat karakter si Digi ini bentuknya telur, kan aneh kalau bentuknya lontong.""Kita Semua Kedan" yang aritnya "Kita Semua Sahabat" menjadi jargon dari komik strip digital asal Medan, Digidoy.
Sebagai salah satu komiknya orang Medan, komik ini berbeda dari yang lain karena menggunakan tutur berbicara masyarakat Medan dan juga mengangkat keunikan kota itu sendiri.
"Bahasa Medan, ya, bahasa Medan, bukan bahasa Batak, Melayu, atau lainnya. Bahasanya udah campur-campur, cuma orang Medan yang ngerti apa maksudnya," kata komikus Digidoy Dody Pratama.
Jadi, tidak heran komik ini mempunyai kosakata ajaib yang tidak pernah didengar orang lain yang tinggal di luar Ibu Kota Sumatera Utara itu.
Menurut Dody, bahasa tersebutlah yang menjadi kekuatan dari komik Digidoy dibandingkan dengan komik strip yang lain.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa pergaulan masyarakat Medan, tetapi komik ini tidak jarang memuat bahasa-bahasa yang sudah jarang dipakai, bahkan di tengah masyarakat Medan sendiri, seperti "buka calak" (pertama yang melakukan sesuatu), "mentiko" (melawan), dan "kekeh" (ketawa).
Meski bahasa Medan sangat berbeda daripada bahasa lain, dia enggan untuk mengartikannya agar pembaca mengerti.
"Awalnya sempat ragu bisa diterima, tetapi aku pikir enggak usahlah diubah, kalau pembaca suka, mereka akan cari tahu sendiri artinya. Dengan begitu, mereka juga akan mengenal Medan," kata Dody.
Komik itu merupakan misinya untuk memperkenalkan Medan ke seluruh penjuru Indonesia karena isi media di Indonesia masih didominasi dari penggiat seni yang berada di Pulau Jawa.
Namun, dia menyayangkan minimnya masyarakat yang mau berkarya dalam dunia komik di Medan yang menjadi tanah kelahirannya.
"Sebenarnya, yang pandai buat komik di Medan banyak, tetapi enggak ada yang mau kalau diajakin," kata dia.
Diawali dengan rasa tersindir melihat komik-komik strip yang sedang jadi kegemaran masyarakat, Dody merasa dirinya mampu membuat hal yang serupa.
Kalau dilihat dari segi cerita, sebenarnya komik Digidoy tidak terlalu jauh berbeda dibandingkan komik stirp lain yang beredar di dunia maya, masih mengangkat tentang keseharian, mengangkat isu-isu terkini, dan sindiran satir.
Meski demikian, komik ini dapat menyentuh hampir semua lapisan masyarakat di Medan.
"Mungkin karena ceritanya, bahan ceritanya bisa berasal dari kehidupan sehari-hari, isu terhangat, ataupun anekdot lawas. Anekdot lawas itu yang membuat orang tua suka bacanya," kata dia.
Salah satu yang menarik dari komik Digidoy adalah segmen cerita, seperti "Kek Ginilah Medan", "Coki", dan "Dev".
Karakter-karakter yang dimuat di dalam komik ini pun melambangkan kemajemukan masyarakat Medan, terdiri atas Doy mahasiswa labil yang beretnis Melayu, Dev atau Developer adalah pedagang kaya asal tanah Minang, Coki adalah pengendara Becak Motor (salah satu angkutan umum khas Medan) yang berasal dari tanah Batak dan Digi merupakah makhluk luar angkasa yang jatuh di Medan.
"Digi itu kayak Doraemonnya Medanlah, dia jatuh ke Medan bukan tanpa alasan, dahulu diceritakan bapak si Digi ini pernah datang ke Medan, lalu sekarang giliran si Digi diutus, di situlah awal petualangan cerita komik ini dimulai," celoteh Dody.
Menurut dia, dengan adanya karakter Digi yang berbentuk telur berwarna biru membuat Digidoy gampang diterima pembaca perempuan.
"Si Digi ini yang imutnya," kata dia.
Alasan dia memilih karakter Digi yang anomali dengan bentuk telur bukanlah tanpa alasan, menurut dia orang Medan aneh, kata benda "lontong" dan "telur" bisa jadi umpatan.
"Apalah salah si Lontong dan si Telur ini, kalau awak (saya) bilang ke orang lain pasti mereka marah. Padahal, itu kan makanan. Maka dari itu, aku kepikiran buat karakter si Digi ini bentuknya telur, kan aneh kalau bentuknya lontong," kata Dody.
Digidoy pertama kali terbit pada bulan Februari 2014 di media sosial Facebook. Saat ini, komik tersebut telah terbit seminggu tiga kali dengan cerita yang berbeda.
Komik itu layaknya buku panduan wisata ke Medan, Doy dan teman-teman sering mengisi kegiatannya keliling kota Medan, seperti ke Padang Bulan, Mesjid Raya, dan makan makanan khas Medan, misalnya bubur pedas (yang ada di setiap Ramadan) dan kue bohong.
Tinggalkan Jamur Demi Komik
Sejak kecil Dody sangat senang menggambar, sewaktu SD dia dikenal pandai menggambar. Takheran saat pelajaran menggambar dia menjadi idola teman-temannya.
"Kalau udah pelajaran menggambar, dari depan sampai belakang kelas semua gambarnya sama. Semua orang minta aku yang gambarin," kenang Dody.
Kegemaran itu tidak berhenti di bangku SD. Saat beranjak ke sekolah menengah pertama (SMP), dia kerap menggambar di belakang buku catatannya.
Memiliki sifat pemalu dan tidak suka berselisih, membuat dia selalu menuangkan kekesalannya di dalam gambar.
"Kalau aku enggak suka nengok (lihat) orang, aku ejeklah dia lewat gambar, aku kan orangnya enggak berani kalau langsung," kata Dody sambil tersenyum.
Karya-karyanya juga sempat menghiasi mading masjid pada saat dia duduk di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara jurusan Agribisnis pada tahun 2008.
Setelah komik strip mulai menjamur, timbulah keinginan Dody untuk membuat karyanya menjadi besar.
"Kalau kutengok-tengok, komik-komik strip itu kayak yang aku buat setiap harinya, tapi kenapa aku enggak bisa buat itu jadi besar," kata Dody.
Barulah pada akhir 2013 dia mengajak kakak angkatannya di kampus, Arief Siregar, untuk menggarap komik Digidoy.
"Bang Arief jago marketing, aku cuma pandai gambar, tapi gambar aku pun sebenarnya enggak cantik-cantik kali (tidak terlalu bagus)," kata Dody.
Akhirnya, dengan bantuan Arief, komik Digidoy muncul di dunia maya dan menjadi viral.
Saat ini, mereka bekerja secara tim, satu tim terdiri atas lima orang, dan mereka memiliki keahlian masing-masing.
Untuk cerita, biasanya didiskusikan bersama tema apa yang akan diangkat.
Saat ini Dody mencurahkan seluruh waktunya fokus pada komik, padahal dahulu dia sempat menekuni budi daya jamur merang bersama teman-temannya sejak kuliah.
"Sejak awal 2015, aku tinggalkan jamur untuk fokus pada komik. Kalau komik ini, udah jalan, karakternya bisa kugunakan untuk produk jamur aku," kata dia.
Ia merasa beruntung karena kedua orang tuanya mendukung pilihannya untuk konsentrasi di komik, padahal di Medan dunia komik tidak terlalu menjanjikan.
"Alhamdulillah orang tuaku mendukung, kata mereka yang penting cukup untuk diri sendiri dulu," kata dia.
Oleh Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015